Sabtu, 01 Oktober 2011

Kisah Putmuinah, Ketua Gerwani Kabupaten Blitar

Putmuinah dengan foto penangkapannya di Blitar selatan


G30S Pecah, Ungsikan Tujuh Anak, Sembunyi di Gua

Setiap 30 September, ingatan Putmuinah masih terbayang peristiwa pahit 46 tahun silam, G30S/PKI. Ingatannya masih kuat meski sudah memasuki 83 tahun. Dia adalah ketua Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) Kabupaten Blitar, organisasi underbow Partai Komunis Indonesia (PKI). Bagaimana kisahnya? Berikut laporannya. 

Yanu Aribowo, Blitar.

Ditemui di rumahnya di Pakisrejo, Kecamatan Srengat, kemarin, Putmuinah masih terlihat sehat. Meski telah memasuki usia uzur, 83 tahun, tapi mantan ketua Gerwani ini masih enerjik. Perempuan ini dengan ramah menyambut setiap tamu yang berkunjung ke rumahnya. Rumah itu ditinggalinya seorang diri. Ketujuh anaknya telah memiliki kesibukan dan keluarga masing-masing.  

Suaminya sendiri, Subandi Hardi Sumarto yang merupakan ketua DPRD di Kota Blitar pada masa itu. Keberadaan suaminya hingga kini tidak diketahui. Putmuinah sendiri saat ini sudah mengikhlaskan kepergian suaminya.  Menurut dia, saat itu Subandi sedang mengikuti Kongres Partai Komunis Indonesia (PKI) di Jakarta. Menurut cerita yang disampaikan beberapa temannya, usai mengikuti kongres, Subandi lantas pulang dan tengah dalam perjalanan. “Tapi sampai saat ini belum juga kembali ke rumah,” ujar Putmuinah sambil matanya menerawang ke langit-langit rumah.

Bagi perempuan tujuh bersaudara itu, kondisi genting dan gawat bukan sesuatu barang baru. Dia sendiri terlahir dari ayah, H Mansyur, tokoh Sarikat Rakyat (SR) di Blitar. Ayahnya dipenjara dengan hukuman 6,5 tahun. Praktis, Putmuinah kecil baru mengetahui kondisi bapaknya sekitar kelas I SD. Namun meski begitu tidak ada raut kesedihan yang ditunjukkan perempuan tujuh bersaudara itu.

Kemarin saat Radar Blitar berkunjung ke rumahnya, dengan lancar dia menceritakan bagaimana dia menyelematkan diri saat meletusnya G30S/PKI, hingga akhirnya tertangkap petugas keamanan setelah tiga tahun dalam pelariannya di wilayah Blitar selatan. Saat itu, suaminya masih mengikuti kongres di Jakarta, dia mengungsikan tujuh anaknya yang masih kecil-kecil. Dengan mengendong di bungsu Komara (Komunis Marhanaenis dan Agama) yang saat ini belum genap berusia setahun. Demikian dengan membawa sambil member penjelasan kepada si sulung Dinna Amin Handayani yang berusia 13 tahun kalau kondisi sedang gawat, pecahnya G30S. Dalam ingatannya, rumahnya saat itu berada di kawasan RSK Budi Rahayu. “Timurnya rumah sakit utara jalan, belakang bengkel kalau tidak salah waktu itu,” jelasnya.

Dengan modal nekat, Putmuinah memboyong semua anaknya menuju rumah orang tuanya di Desa Pakisrejo, Kecamatan Srengat. Perjalanan sejauh  10 kilometer dengan berjalan kaki dilaluinya tidak dengan mudah. Putmuinah harus menghindari pemeriksaan petugas keamanan dan massa dari ormas Islam yang saat itu sudah melakukan patroli untuk mencari orang-orang PKI. Tak pelak, seharian akhirnya dia sampai di rumah meski kondisi keamanan tidak menjamin keselamatan dia dan anaknya. Sebab informasi yang didapatkan saat itu, selain patroli petugas dari angkatan darat (AD), ada gerakan massa dari ormas Islam yang menyerang perumahan yang dituding sebagai pengikut PKI. “Demi keamanan orang tua saya, saat itu saya juga pergi ke Jakarta dan Surabaya, hingga akhirnya saya memilih bertahan di pegunungan Blitar Selatan bersama teman yang lainnya,” ungkap istri Subandi ini.

Dalam pelariannya di pegunungan Blitar selatan, saat itu Putmuinah bersama pelarian lainnya hidup dalam keterbatasan. Saat itu selama hampir tiga tahun dia menetap di dalam Gua Gayas, yang berada di perbatasan Blitar – Tulungagung. Setiap hari persediaan alam, seperti air tetesan dan daun-daunan di kawasan hutan menjadi penyambung hidup dia bersama pelarian lainnya. Mereka merasa aman dengan berlindung di kawasan itu karena warga setempat tidak terlalu dipikirkan warga. Setiap ada yang mencari mereka menjawab tidak tahu. Saat itu ada tokoh PKI asal Tulungagung, Murjani, yang mengajaknya keluar gua, namun karena teguh pendirianya, Putmuinah menolak. “Akhirnya saya tertangkap setelah salah satu pengikut PKI menunjukkan keberadaan saya di dalam gua. Ini orangnya,” sambil menunjukkan dalam foto penangkapannya yang didapat dari seorang temannya.

Nah, dari penangkapan itu akhirnya di penjarakan di Platungan, Kabupaten Kendal. Kondisi itu setelah Putmuinah menjalani pemeriksaan dan penjara mulai, pos militer di Sutojayan, Blitar, Kediri, Madiun, dan akhirnya dijebloskan ke penjara Platungan. Penjara itu rumah sakit penderita kusta yang sengaja dikosong untuk menampung tahanan politik PKI. Dia hidup dalam penjara itu selama 10 tahun, baru pada 1978 menghirup udara bebas dan langsung kembali ke kampung halamannya. “Sejak saat itu saya tinggal di sini,” ujar lulusan Sekolah Taman Dewasa di Tulungagung.

Saat ini untuk mengisi hari-harinya, Putmuinah lebih banyak membaca buku dan melihat perkembangan informasi di TV. Kabar baik datang pada 2003 silam, sebagai eks tahanan politik, dia tidak lagi absen di Koramil Srengat. Selain itu, sejumlah pihak sering kali mengundangnya sebagai pelaku sekaligus korban sejarah 1965. Pada tahun 2009, pernah memberikan kesaksian terkait seperti apakah sesungguhnya peristiwa 1965 yang terjadi di Indonesia. Tahun ini, dia juga pernah diajak ke Blitar selatan untuk menelusuri tempat persembunyiannya dulu. “Saya 10 hari di Korea Selatan, selain itu juga ada mahasiswa yang datang ke sini untuk tugas kuliah,” ungkapnya bangga.

Mantan anggota dewan itu menjelaskan, tidak hanya suaminya yang menjadi korban pada masa suram itu. Ayahnya, H Mansyur, seorang tokoh Sarikat Islam (SI) Merah Kabupaten Blitar yang merupakan pecahan dari Sarikat Islam (SI) pimpinan HOS Cokroaminoto. Sarikat Islam Merah sebagai cikal bakal Sarikat Rakyat (SR). H Mansyur sendiri yang terbunuh dalam peristiwa pemberontakan PKI Madiun 1948.
Putmuinah semakin mantab dengan pandangan dan pilihan politiknya sebagai anggota PKI. Awalnya dia bergabung dengan Barisan Pemberontak Republik Indonesia (BPRI), Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), dan Gerwani.

Dia mengenang, saat itu PKI merupakan partai besar yang menguasai separo lebih kursi dewan, baik di Kota/ Kabupaten Blitar. Seingatnya, saat itu di Kota Blitar, dri 15 kursi dewan, 10 kursi diduduki politikus dari PKI, termasuk suaminya yang merupakan Ketua DPRGR, serta Ketua PKI Kota Blitar dan Ketua Front Nasional Kota/ Kabupaten Blitar. Sedang di Kabupaten Blitar, dari 45 kursi, sebanyak 35 kursi diduduki anggota PKI. Sisanya diduduki politikus dari NU, Masyumi, PNI dan partai kecil lainnya.

Nah, dengan masa keemasan PKI kala itu, dalam diri Putmuinah tidak ada istilah pemberontakan yang dilakukan PKI. Memang pada saat itu PKI sedang mengadakan kongres di Jakarta. Namun apa yang dilakukan tokoh PKI itu bukan dalam rangka persiapan pemberontakan, tapi perumusan program kerja PKI untuk pembangunan bangsa. Dia menduga, isu pemberontakan yang dilontarkan beberapa pihak itu mencuat karena kedekatan PKI dengan Presiden Ir Soekarno. Sebab kalau Soekarno masih menjadi presiden, Amerika tidak bisa mengeksploitasi kekayaan yang dimiliki bangsa Indonesia. “Maka dari itu, untuk menghancurkan Soekarno, yang dihancurkan terlebih dahulu adalah para pendukungnya, seperti PKI. Saat itu tidak ada pemberontakan. Hanya golongan kanan saja yang menuduh memberontak. Kongres memang ada tapi untuk perumusan program kerja PKI ke depan,” papar Putmuinah dengan semangat.

Bagaimana dia memaknai pengalaman kelam itu? Dia tidak dendam dan menganggap itu sebagai pengalaman hidup dan akan diingatnya sampai kapan pun. Karena peristiwa itu terjadi, banyak di antara mereka yang terlibat karena tidak tahu dan hanya korban politik saat itu. “Semua pasti ada hikmahnya,” tukasnya. (cam) 


Sumber : Radar Blitar


Putmuinah dengan foto penangkapannya di Blitar selatan

Foto penangkapan Putmuinah (perempuan jongkok tengah) di Blitar selatan tahun 1968

8 komentar:

  1. mas sya minta tolong sma situ, untuk kirimkan email sampean soalnya ada sesuatu yang sya mw tnyakan tentang artikel sampean, dan klau saya tnyakan disini sya rasa kurang etis untuk di liat oleh orang lain... tolong kirim kan email nya ke
    catraindrawan@outlook.com sebelumnya sya ucapkan terimaksih

    BalasHapus
  2. mas mau nanya, ibu putmainah saat di tangkap tentara tahun 1968 beliau berumur berapa?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Di artikel thn 2011, ia berusia 83 thn.
      Berarti lahir thn:
      2011 - 83 = 1928 (thn lahir).
      Thn 1968 ditangkap, berarti usianya saat itu:
      1968 - 1928 = 40 tahun.
      Usia saat thn 2017 (kalau msh hidup):
      2017 - 1928 = 89 tahun

      Hapus
  3. Anehnya justru Ketua GERWANI PUSAT, ny.Suryadharma tidak pernah ditangkap.Padahal sebelum Aidit lari ke Yogja, juga singgah dirumah ny.Suryadharma.

    BalasHapus
  4. bgm ya , udah hapal sih orang2 di sekitar sy yg ngalami peristiwa pki berontak , pki itu selalu boong dan menipu, jd mana mungkin sy percaya omong kosong nenek itu

    BalasHapus