Kamis, 06 Oktober 2011

Reog Bulkio

Sesepuh Reog Bulkio Supangi

Tak banyak yang tahu, jika pelarian prajurit Pangeran Diponegoro sekitar tahun 1825 ke Kabupaten Blitar kini meninggalkan kesenian daerah, yakni Reog Bulkio. Yang kini masih dilestarikan oleh generasi ketiga, Supangi, 78, warga RT 03/01Dusun/ Desa Kemloko, Kecamatan Nglegok.

Yanu Aribowo, Blitar

“Itu adalah kesenian asli Desa Kemloko yang sudah diwariskan secara turun temurun,” ungkap Supangi, saat pertama kali menjelaskan asal usul kesenian Reog Bulkio yang diakuinya tidak ada di daerah lain. Peralatan seperti gong, terompet, terbang, pecer (kepyek), umbul-umbul (panji), serta pedang, merupakan ciri khas dari kesenian yang mengadopsi cerita perang dari Surat An Biya, dalam Alquran. Yakni mengisahkan peperangan kebaikan melawan keburukan, yang bisa diartikan perang antara umat Islam dengan kaum kafir. Reog Bulkio sendiri mulai dihidupkan kembali sejak Agustus lalu, untuk lebih mewarnai kesenian dari Blitar.

Penggambaran itu bisa dilihat dari panji putih, yang digunakan untuk memisahkan dua prajurit yang mempertunjukkan tarian perang dalam peragaan terakhir dari penampilan Reog Bulkio. Dalam panji itu tergambar, dua tokoh pewayangan yang menggambarkan dua pribadi yang bertolak belakang. Yaitu perang antara Anoman, yang menggambarkan Islam sebagai nilai kebaikan dengan Dosomuko, yang menggambarkan kekafiran. “Dari kisah peperangan dalam Alquran itulah nama Bulkio diambil,” jelas kakek dua cucu ini.

Supangi menuturkan, dia sendiri merupakan keturunan ketiga dari Mustar, salah satu diantara tujuh prajurit Pangeran Diponegoro asal Bojonegoro yang melarikan ke Desa Kemloko, yang dulu masih berupa hutan belantara Penataran, usai pimpinan mereka tertangkap. Pada sekitar tahun 1825, ketujuh prajurit mulai menetap di desa tersebut, sembari menanti kabar kepastian Pangeran Diponegoro. Selain ke Blitar prajurit lainnya juga menyebarkan diberbagai daerah, antara lain, Madiun, Ponorogo, Trenggalek.  “Tujuh prajurit itu salah satunya adalah kakek saya, mereka berasal dari Bojonegoro,” kisahnya.

Tidak hanya itu, karena kabar tentang pimpinan mereka tidak kunjung tiba, mereka terus melakukan penantian di tempat pelarian tersebut. Nah, dalam masa penantian itulah muncul ide untuk tetap mempertahankan kemampuan mereka dalam berperang. Sebab dikhawatirkan karena tidak pernah dipergunakan dalam peperangan, hingga akhirnya tempaan latihan perang itu diwujudkan untuk menghibur diri sekaligus memotivasi kesetiaan mereka terhadap Pangeran Diponegoro. “Mulai saat itu Reog Bulkio, sudah dimainkan secara turun temurun,” terang suami Surami, 60, ini.

Hingga kini, tarian perang dalam Reog Bulkio masih mengikuti pakem dari asalnya. Semua pemain yang merupakan pria itu, terbagi menjadi tiga bagian, yakni penari, pemukul alat musik, dan dalang. Mereka berjumlah 14 orang, yang terdiri sembilan penari, empat pemukul alat musik dan satu orang dalang yang menceritakan kisah peperangan antara Islam dan kaum kafir. Sedangkan gerakan tarian sejak dulu memiliki empat jenis, mulai lincak gagak, rubuh-rubuh gedang, untir-untir, dan perang. “Semua itu dimainkan sekitar satu jam hingga selesai,” jelas pria yang berperan sebagai dalang dalam Reog Bulkio ini.

Dalam berpakaian, kelompok reog itu memiliki ciri khas warna merah putih. Enam penari yang memukul yang ikut memainkan alat musik terbang, mengenakan celana hitam, dengan lilitan sarung warna merah putih, serta kemeja putih yang dihiasi selempang, dan kepala menggunakan udeng jenis gilik bawang sebungkul. Hiasan udeng ini juga menggunakan warna merah putih. “Dua warna itu merupakan cirri khas sejak dulu, kami tidak pernah ngutak-atik warna itu,” ungkap

Sedangkan tiga penari yang memainkan peperangan serta pembawa panji pemisah peperangan, juga mengenakan pakaian dengan warna dominasi merah putih. Mereka tampil dengan celana merah, kombinasi kemeja putih, serta jas hitam, yang dipertegas dengan sebilah pedang untuk masing-masing penari. Kedua penari itu memainkan tari peperangan dengan seorang penari yang bertugas menjadi penengah dengan tanda panji putih bergambar Anoman dan Dosomuko. Sementara, empat pemain pemukul alat musik, mengenakan kemeja putih kombinasi celana hitam dengan hiasan jarit melilit di pinggangnya.

Kedepan, harapan untuk melestarikan kesenian asli Desa Kemloko itu masih terbuka lebar. Saat ini, Edi Suryanto, 41, anak satu-satunya Supangi juga mempunyai kepedulian terhadap Reog Bulkio. Dia malah berencana untuk mempopulerkan kesenian itu hingga ke luar pulau Jawa. Dalam waktu dekat mereka berencana tampil di Pekanbaru, tempat Edi bekerja saat ini. Tidak hanya itu, Vego, 5, anak kedua Edi, juga mulai menampakkan kecintaannya kepada Reog Bulkio. “Jika ada latihan, Vego selalu minta melihat di depan rumah,” timpal Edi.

Dengan nilai historisnya yang panjang, para pemain yang saat ini berasal dari tingkatan umur bervariasi, mulai 14 hingga 78 tahun memerlukan perhatian khusus dari dinas terkait. Bukan tidak mungkin, jika tidak ada perhatian dari dinas terkait, kesenian yang selama ini dihidupi dengan cara swadaya itu akan hilang dari catatan sejarah kesenian asli Blitar.

Sumber: Radar Blitar, 8 Desember 2010



Perlengkapan Reog Bulkio

Perlengkapan Reog Bulkio

Tidak ada komentar:

Posting Komentar