Selasa, 27 Desember 2016

Legenda Es Drop Blitar


Es lilin atau biasa dikenal dengan sebutan es drop menjadi salah satu legenda es yang ada di Blitar Raya. Jajanan es ini sudah dikenal dari generasi ke generasi dan kini menjadi salah satu jajanan yang dicari untuk memenuhi rasa kangen jajanan masa kecil. Salah satunya seperti yang dijajakan secara keliling oleh Bpk. Slamet Daroini, 64 tahun, warga Desa Jeblog, Kecamatan Talun, sejak tahun 1985. Setiap hari, kakek ini berjualan keliling wilayah Talun, Selopuro dan sekitar sepanjang perjalanan Talun ke Kota Blitar untuk mengambil es drop di produsennya. Ada lima rasa yang dijajakan, seperti strawberry, melon, kopi, kacang ijo dan duren. Sepotong es drop ini harganya Rp 3-4 ribuan. Di Blitar Raya, setidak ada tiga mereka yang berkembang sejak 1960-an.



Minggu, 27 November 2016

Koceh Ning Blumbang Gede Gandusari


Hehehe, pengalaman pertama menikmati Blumbang Gede atau Telaga Nyunyur di Desa Soso, Kecamatan Gandusari, dengan cara berbeda. Hari ini kebetulan ada teman-teman yang sedang memboyong beberapa papan selancar ke Blumbang Gede, untuk mengenalkan Stand Up Paddle. Meski sebenarnya dimainkan dengan cara berdiri, karena baru pertama kali mencoba dan ada rasa dag dig dug jika papan selancar terbalik, maka hanya berani dengan duduk simpuh sambil memainkan dayung. Tak hanya itu, ketika baru meluncur juga minta didampingi oleh Mas Iponk, teman yang sudah ahli meluncur. Namun, lama-kelamaan jadi terbiasa dan berputar-putar, meski masih dengan posisi tetap duduk simpuh. Hahahaaaa.

Selasa, 16 Agustus 2016

Nitya/Greysia Gagal Melangkah ke Babak Semifinal


RIO DE JANEIRO, KOMPAS.com — Pasangan ganda putri Indonesia, Nitya Krishinda Maheswari/Greysia Polii, gagal melangkah ke semifinal Olimpiade Rio 2016. Nitya/Greysia kalah dari pasangan China, Tang Yuanting/Yu Yang. Nitya Krishinda Maheswari/Greysia Polii kalah dengan skor 11-21 dan 14-21 di Riocentro Pavilion 4, Rio de Janeiro, Senin (15/8/2016). Nitya/Greysia sempat unggul 5-2 pada awal gim pertama. Namun, Tang/Yu berhasil menyamakan kedudukan pada 8-8.

Sabtu, 13 Agustus 2016

Greysia/Nitya Taklukkan Ganda Putri Malaysia di Olimpiade


VIVA.co.id – Duet pebulutangkis Indonesia Greysia Polii/Nitya Krishinda Maheswari, sukses mengalahkan ganda putri Malaysia Vivian Kah Mun/Khe Wei Woon, dalam dua set langsung 21-19 dan 21-19, Sabtu 13 Agustus 2016. Mereka pun maju ke perempatfinal Olimpiade 2016, sebagai pemimpin Grup C dengan poin penuh.

Riau Ega: Kita Mampu Bersaing di Olimpiade


RIO DE JANEIRO, KOMPAS.com - Atlet panah putra Indonesia, Riau Ega Agatha Salsabila, tetap berbesar hati dan melihat sisi positif dari kekalahannya pada babak perdelapan final (1/16) Olimpiade Rio 2016. Ega kalah dari pemanah Italia, Mauro Nespoli, di Sambodromo, Jumat (12/8/2016). Ega kalah 0-6 (25-29, 27-29, 26-27).

Tekuk Inggris, Greysia/Nitya Lolos ke Perempat Final


VIVA.co.id – Pasangan ganda putri Indonesia, Greysia Polii/Nitya Krishinda Maheswari berhasil memastikan langkah ke perempat final Olimpiade Rio de Janeiro 2016. Mereka sukses mengatasi perlawanan pasangan Inggris Raya, Heather Olver/Lauren Smith, di laga penyisihan Grup C, Sabtu dini hari WIB, 13 Agustus 2016.

Jumat, 12 Agustus 2016

Greysia/Nitya Sukses Tekuk Wakil Hong Kong


VIVA.co.id – Hasil manis berhasil diraih ganda putri Indonesia, Greysia Polii/Nitya Krishinda Maheswari di Olimpiade 2016 Rio de Janeiro, Brasil. Mereka berhasil menang di laga perdana penyisihan Grup C, Kamis 11 Agustus 2016. Greysia/Nitya berhasil mengatasi perlawanan dari wakil Hong Kong, Poon Lok Yan/Tse Ying Suet. Pasangan ini menang dalam dua set,  21-9 21-11.

Ini Hobi Nitya Krishinda, Duet dari Greysia Polii



Nitya Krishinda Maheswari sudah tak asing di dunia bulutangkis. Pemain ganda putri Indonesia yang berpasangan dengan Greysia Polii tersebut kini bertengger di peringkat dua dunia. Di lapangan, Nitya – biasa dia dipanggil, tampil tanpa kompromi dan dikenal memiliki smash tajam. Tapi, di luar lapangan, Nitya adalah sosok yang kalem dan lebih suka berkutat di bidang yang lain. Cukup mengejutkan karena dia ternyata terhitung kutu buku alias hobi membaca. “Saya suka membaca dari dulu. Kalau sudah asyik membaca, rasanya seperti masuk ke dunia lain. Senang saja rasanya, jadi seperti berimajinasi terus,” beber Nitya seperti dilansir dari Badmintonindonesia.org.

Rabu, 10 Agustus 2016

Melaju ke Babak 16, Riau Ega Kalahkan Pemanah Nomor Satu Dunia


Bintang.com, Jakarta Ada kabar baik datang dari Olimpiade 2016 yang sanggup bikin Indonesia berbangga. Atlet panahan putra asal Surabaya, Riau Ega Agatha, baru saja mengalahkan pemanah nomor satu dunia asal Korea Selatan, Kim Woo-Jin. Dilansir dari salah satu media nasional, Kim tersingkir dari putaran kedua cabang panahan nomor individual putra di Olimpiade Rio, pada Senin (8/8) waktu setempat.

Sabtu, 06 Agustus 2016

Riau Ega: Dari Sepak Bola, Renang, Panahan, Hingga Olimpiade


Kiprah Riau Ega Agatha Salsabila belakangan ini kian mengilap. Beragam prestasi sukses ditorehkan pemuda berusia 24 tahun asal Blitar Jawa Timur ini di pentas panahan dunia. Teranyar, dia mampu merebut tiket ke Olimpiade 206 di Rio De Janeiro, Brasil, bersama pasangannya di SEA Games 2015, Ika Yuliana Rochmawati.

Kamis, 04 Agustus 2016

Sumber Tretes: Surganya Ikan Air Tawar


Masyarakat setempat menyebut sumber air ini dengan nama Sumber Tretes. Kawasan ini merupakan tempat yang nyaman untuk hidup bagi ikan wader, lele, kuthok, dkk. Oleh masyarakat sekitar ikan air tawar itu dilarang diambil dan dibiarkan hidup alami. Secara tidak langsung larangan masyarakat setempat untuk mengambil ikan dari kawasan sumber air, merupakan salah satu cara agar kelestarian ikan air tawar ini tetap terjaga. Sumber air ini berada di Dusun Pehlumbu, Desa Pagergunung, Kec. Kesamben. Setiap hari masyarakat memanfaatkan kawasan ini untuk sekedar menikmati kesejukan alam, mencari air bersih, hingga mencuci pakaian.

Kamis, 14 Juli 2016

Musala Al Ishaq (24)


Musala Al Ishaq di Dusun Mandesan, Desa Mandesan, Kecamatan Selopuro, merupakan salah satu tempat ibadah kuno di wilayah Blitar timur. Dulunya, musala ini adalah sebuah masjid. Pada masa penjajahan, untuk menghindari patroli tentara Belanda, masyarakat rela menunaikan Salat Jumat di tepi Sungai Brantas. Tempat ibadah ini dibangun pada masa Kiai Hasan Duriyat, berupa bangunan masjid kecil sekitar 1850 silam. Kiai Hasan Duriyat merupakan salah seorang anak Kiai Ali Kartodjumeno, dari Lingkungan Kebonsari, Kecamatan Garum, yang merupakan seorang prajurit Pangeran Diponegoro.

Kemudian sekitar 1935 silam, bagian depan masjid lawas dibongkar dan ukuran bangunannya menjadi lebih kecil seperti saat ini. Dulunya, di halaman musala ada 10 pohon sawo yang merupakan ciri tempat ibadah yang dibangun prajurit maupun keturunan prajurit Pangeran Diponegoro. Di Desa Mandesan, keturunan Kiai Hasan Duriyat, menyebar di beberapa desa, yakni Nyai Kasibah (Wlingi), Kiai Burhanuddin (Mandesan), Nyai Asiyah (Mandesan), Kiai Abu As'ad (Jambewangi), Kiai Ahmad Nawawi (Mandesan), Kiai Amrun (Mandesan), Kiai Anwar Dawali (Mandesan), dan Nyai Hj. Siti Asmilah (Mandesan).

Sabtu, 25 Juni 2016

Masjid Baitus Salam (16)


Pembangunan Masjid Baitus Salam dirintis oleh Nyai Wagirah, bersama tiga anaknya pada 1923 silam. Sebelum masjid berdiri di Dusun Ringinbranjang, Desa Maliran, Kecamatan Ponggok, diperlukan perjalanan panjang untuk mencari titik terbaik untuk membangun masjid. Nyai Wagirah berdakwah di Dusun Ringinbranjang, atas petunjuk gurunya untuk mencari batu fondasi mihrab. Sesuai petunjuk Kiai Abdullah, sang guru, Nyai Wagirah harus mencari keberadaan bambu jabal, yang berbatang tegak kecil di tengah rimbunnya bambu jenis ori. Nah, di bawah tanda alam itulah terdapat batu yang bisa digunakan sebagai fondasi atau titik awal pembangunan masjid. Masjid ini dibangun oleh Nyai Wagirah, bersama tiga anaknya, yakni KH. Mardani, Nyai Amin, dan Nyai Mariyam. Waktu yang dipilih untuk membangun juga berbeda, yakni malam hari, sehingga masjid juga mendapatkan sebutan Masjid Tiban, yang tiba-tiba ada tanpa diketahui pembangunannya. Sebab, pada siang hari, KH. Mardani, harus berada di markas tentara Belanda, karena dilarang membangun masjid pada masa itu. Generasi pertama dan kedua perintis Masjid Baitus Salam, dimakamkan pada area belakang masjid. Makam Nyai Wagirah, juga dikenal dengan sebutan makam Mbah Ibu. Saat ini, amanah menghidupkan masjid sudah berada pada generasi ketiga.

Jumat, 24 Juni 2016

Masjid Al Sulthon (15)


Masjid Al Sulthon yang berada di Dusun Plampangan, Desa Jugo, Kecamatan Kesamben, dibangun oleh KH. Rofi’i. Tokoh Islam asal Bagelen, Jawa Tengah, ini merupakan salah seorang prajurit Pangeran Diponegoro, yang kedatangannya di Desa Jugo, hampir bersamaan dengan Mbah Zakaria atau Mbah Djoego, sekitar 1830 silam. Usai menetap di wilayah Kesamben, pada 1837 silam, KH. Rofi’i, awalnya membangun sebuah musala dan kemudian pada 1847 silam, dibangun menjadi masjid. Awalnya masyarakat Desa Jugo dan sekitarnya, menunaikan ibadah Salat Jumat di Masjid Al Ikhlas, Dusun Kauman, Desa/Kecamatan Kesamben. Namun, karena kapasitas jamaah sudah mulai penuh, akhirnya musala yang dirintis KH. Rofi’i dijadikan sebuah masjid. Pada zaman dulu, Masjid Al Sulthon, menampung jamaah dari desa Jugo, Pagergunung, Ngadri (Binangun), hingga Kalirejo (Kalipare).

Kamis, 23 Juni 2016

Masjid Thoriqul Ubudiyah (14)


Masjid Thoriqul Ubudiyah, berada di Lingkungan Kebonsari, Kelurahan/Kecamatan Garum. Pertama kali dibangun oleh KH. Abdurrahman pada 1910 silam. Kawasan Lingkungan Kebonsari menjadi pusat penyebaran agama Islam pada masanya dan merupakan tempat yang aman dari incaran penjajah maupun penjahat. Hal itu tak lain karena kewibawaan KH. Abdurrahman yang mengasuh Pondok Pesantren Darussalam. Masjid ini awalnya berupa musala kecil yang biasa disebut Musala Kebonsari.

Rabu, 22 Juni 2016

Masjid Al Faqih (13)


Masjid Al Faqih yang dibangun pada 1892 silam oleh KH. Imam Faqih, berada di Dukuh Bandung, Desa Tlogo, Kecamatan Kanigoro. Awal dakwah Mbah Faqih, bersama Hj Maimunah, istrinya berawal sekitar 1884 silam. Tokoh Islam asal Bagelen, Jawa Tengah, merupakan keluarga yang mengawali kampung di ujung selatan Desa Tlogo. Sebelumnya, sudah banyak yang mencoba babat hutan namun gagal dan ketika kedatangan Mbah Faqih, akhirnya berhasil. Keberhasilan itu kemudian dijadikan nama Dukuh Bandung, yang berasal dari kata Mandung, yang artinya banyak. Pada masa penjajahan Belanda, kawasan masjid juga digunakan sebagai pos para pemuda pejuang melawan penjajah Belanda.

Selasa, 21 Juni 2016

Masjid Al Hikmah (12)


Masjid Al Hikmah yang dibangun oleh KH. Muhammad Toyib, berada di Dusun Langkapan, Desa Maron, Kecamatan Srengat. Perjuangan penyebaran Islam di Desa Maron, berawal dari kedatangan tiga prajurit Pangeran Diponegoro, sekitar 1830 yang memiliki keahlian yang berbeda. Mereka adalah KH. Muhammad Toyib (ahli agama Islam), Mbah Bendil Kariyadi (ahli pemerintahan), dan Mbah Bauniti (ahli Kejawen). Mbah Toyib yang berasal dari Ponorogo, kemudian membangun masjid kecil atau Masjid Langkapan, cikal bakal Masjid Al Hikmah. Pada generasi kedua, KH. Abdul Karim, kemudian dirintis berdirinya pondok pesantren. Pada masanya, tempat ibadah ini menjadi basis perkembangan Islam di wilayah Srengat selatan. Masjid secara resmi didirikan pada 1875, yang mampu menampung jamaah dari Srengat selatan. 

Senin, 20 Juni 2016

Musala H. Bakar (11)


Kawasan Musala H. Bakar di Dusun Kolomayan, Desa Kolomayan, Kecamatan Wonodadi, ini pada masa Agresi Militer Belanda pernah digunakan sebagai markas sementara tentara Belanda. Kala itu, tentara Belanda menempati rumah keluarga besar H. Bakar, yang berada di timur musala. Musala ini juga menjadi jujugan masyarakat untuk mengungsi ketika terjadi letusan Gunung Kelud, pada 1951 dan 1966. Sebab, fondasi musala memiliki tinggi dua meter, sehingga masyarakat merasa lebih aman. Musala ini dibangun oleh H. Bakar, yang berasal dari wilayah Mataram Islam di Jawa Tengah, pada pertengahan 1800-an. Diperkirakan H. Bakar merupakan salah seorang prajurit Pangeran Diponegoro, yang menyebar ke wilayah Blitar Raya, pada rentang 1825-1830. H. Bakar juga memiliki hubungan kerabat dengan Mbah Kamogo, pendiri Dusun Kamogan, Desa Kolomayan.

Minggu, 19 Juni 2016

Masjid Al Hasan (10)


Masjid Al Hasan berada di Dusun Jabung, Desa Jabung, Kecamatan Talun. Masjid ini awalnya berupa masjid kecil yang dirintis oleh Kiai Abu Hasan, pada pertengahan 1800-an. Kiai Abu Hasan merupakan tokoh Islam asal Sunda yang menetap di Desa Jabung, selama beberapa tahun sebelum kembali ke tanah kelahirannya. Masjid ini sudah berdiri lebih dari empat generasi. Generasi pertama Kiai Abu Hasan, generasi kedua KH. Harjo Besari, generasi ketiga KH. Muhammad Maulan, hingga generasi keempat Kiai Nurudin. Saat ini, aktivitas masjid dihidupkan oleh generasi keempat dan kelima Kiai Abu Hasan.

Sabtu, 18 Juni 2016

Masjid Darul Kurmain (09)



Masjid Darul Kurmain berada di Dusun Kuwot, Desa Kemloko, Kecamatan Nglegok. Tahun pembangunan masjid sendiri tidak ada catatan pasti yang dimiliki keluarga besar H. Imam Kurmain. Diperkirakan masjid ini dibangun pada masa H. Imam Kurmain, belum memiliki anak atau pascapelariannya dari Bagelan, Jawa Tengah, bersama istrinya pada rentang 1825-1830. Tokoh ini diperkirakan adalah prajurit Pangeran Diponegoro, yang menyebar ke wilayah Blitar Raya, usai Perang Jawa. Salah satu cirinya, dulu di sisi utara masjid terdapat dua pohon sawo yang sangat besar. Namun, pada 1945 silam, dua pohon sawo itu ditebang. Selain itu, juga ada sumur tua di halaman masjid yang diuruk pada 1966 silam.

Jumat, 17 Juni 2016

Masjid Baitul Kariim (08)


Masjid Baitul Kariim atau Masjid Kuningan berada di Lingkungan Tawangsari, Kelurahan Tawangsari, Kecamatan Garum. Pada masa perjuangan, selain sebagai pusat perkembangan ilmu agama Islam, kawasan masjid biasa digunakan untuk penggemblengan para pemuda pejuang. Lokasinya yang tersembunyi, membuatnya sangat strategis untuk berlatih dan menyusun perlawanan terhadap penjajah Belanda. Masjid ini diperkirakan dibangun pada pertengahan 1800-an. Pertama kali Masjid Baitul Kariim dibangun oleh KH. Khasan Masngut, asal Bagelen, Jawa Tengah. Diperkirakan tokoh Islam ini merupakan salah seorang prajurit Pangeran Diponegoro yang menyebar ke wilayah Blitar Raya, setelah Perang Jawa pada rentang 1825-1830. Tempat ibadah ini merupakan masjid yang pertama di Kecamatan Garum.

Rabu, 15 Juni 2016

Musala An Nur (07)


Musala An Nur berada di Jalan Kemuning, Lingkungan Krajan, Kelurahan Plosokerep, Kecamatan Sananwetan. Bentuk aslinya masih dipertahankan dan yang paling menonjol adalah dindingnya yang masih berupa anyaman bambu. Musala An Nur ini memiliki banyak sebutan dari masyarakat, seperti Langgar Angkring An Nur, Langgar An Nur, hingga Langgar Panggung Diponegoro. Terkait pembangunan musala ini, masyarakat tidak ada yang mengetahui secara pasti tahunnya dan siapa orangnya. Melihat ciri banyak pohon sawo di kawasan musala, diperkirakan dibangun oleh prajurit Pangeran Diponegoro atau keturunannya, pada pertengahan 1800-an, usai Perang Jawa pada 1825-1830.

link FB: Musala An Nur

Selasa, 14 Juni 2016

Masjid Baiturrahman (06)


Masjid Baiturrahman berada di Dusun Pucungsari Kidul, Desa Slorok, Kecamatan Garum. Tempat ibadah ini dibangun pada 1926 silam oleh Kiai Hasan Wahid, dengan bangunan awal berupa masjid kecil. Untuk mengenang jasa beliau, jalan desa menuju masjid diberi nama Jalan Kiai Hasan Wahid. Pada masa penjajahan Belanda, umat Islam yang menunaikan Salat Jumat harus mendapatkan penjagaan tentara Belanda, karena khawatir digunakan untuk menyusun rencana melawan Belanda. Namun, Kiai Hasan Wahid punya cara tersendiri untuk mengecoh Belanda dengan khotbah bahasa Arab penuh, sehingga tentara Belanda tidak mengerti.

link FB: Masjid Baiturrahman

Senin, 13 Juni 2016

Musala Abdul Gani (05)


Musala Abdul Gani ini juga memiliki julukan Masjid Sulukan, meski sebenarnya adalah sebuah musala. Musala yang berada di Dusun Gading, Desa/Kecamatan Selopuro, ini dibangun oleh H. Abdul Gani sekitar 1930 silam. Pada masanya, musala ini menjadi jujugan sejumlah orang sepuh untuk mendalami ilmu Islam, dalam kegiatan pesulukan.

link FB: Musala Abdul Gani

Minggu, 12 Juni 2016

Musala An Nur (04)


Musala An Nur di Dusun Dermosari, Desa Gadungan, Kecamatan Gandusari, pada masa penjajahan memiliki fungsi ganda. Selain untuk ibadah, kawasan musala juga digunakan para pemuda pejuang untuk berlatih dan sebagai basis perlawanan terhadap penjajah Belanda yang bermarkas di wilayah Wlingi. Lokasinya yang tersembunyi, membuatnya cukup strategis sebagai basis para pejuang. Musala ini dibangun oleh Imam Basarudin, pada 1940 silam. 

link FB : Musala An Nur

Sabtu, 11 Juni 2016

Masjid Baiturrohim (03)


Masjid Baiturrohim ini berada di Dusun Banjarsari, Desa Bakung, Kecamatan Udanawu. Diperkirakan dibangun pada pertengahan 1800-an, oleh Kiai Yahya asal Salatiga, Jawa Tengah, yang awalnya berupa musala kecil. Kala itu, masjid ini menjadi jujugan Salat Jumat di wilayah Udanawu, karena saat itu belum ada masjid dan pondok pesantren yang berdiri di wilayah Udanawu. Tidak ada catatan pasti terkait pembangunan tempat ibadah ini, namun pada 1890 masjid sudah berdiri kokoh dan bertahan hingga saat ini. Diperkirakan Kiai Yahya, merupakan pengikut Pangeran Diponegoro yang menyebar ke wilayah Blitar, pada rentang 1825-1830. Sebab, dulu sebelum 1965 tempat ini di kelilingi sekitar 5-6 pohon sawo yang merupakan ciri-ciri bangunan tempat ibadah yang dibangun oleh pengikut Pangeran Diponegoro.

link FB: Masjid Baiturrohim

Jumat, 10 Juni 2016

Musala At Taqwa (02)


Musala At Taqwa berada di lokasi agak tersembunyi, karena berada di belakang rumah Bapak Damanhuri. Musala yang menjadi saksi perkembangan Islam di Dusun Darungan, Desa Jiwut, Kecamatan Nglegok, ini dibangun oleh H. Khadir pada 1920 silam. Setelah 96 tahun berdiri, Musala At Taqwa masih dihidupkan oleh keluarga dan masyarakat sekitar hingga saat ini. Meski bangunannya sederhana, musala ini masih berdiri dengan kokoh.

link FB: Musala At Taqwa

Kamis, 09 Juni 2016

Musala Baitul Amin (01)


Musala Baitul Amin dengan ciri khas menara menjulang ini berada di Dusun Centong, Desa Sawentar, Kecamatan Kanigoro. Pertama kali dibangun pada 1928 silam oleh H. Amin. Selain sebagai tempat ibadah, musala ini juga menjadi pusat penggemblengan pemuda pejuang melawan penjajah Belanda dan Jepang. Musala ini masih berdiri kokoh hingga saat ini setelah 88 tahun dibangun.