Sabtu, 25 Juni 2016

Masjid Baitus Salam (16)


Pembangunan Masjid Baitus Salam dirintis oleh Nyai Wagirah, bersama tiga anaknya pada 1923 silam. Sebelum masjid berdiri di Dusun Ringinbranjang, Desa Maliran, Kecamatan Ponggok, diperlukan perjalanan panjang untuk mencari titik terbaik untuk membangun masjid. Nyai Wagirah berdakwah di Dusun Ringinbranjang, atas petunjuk gurunya untuk mencari batu fondasi mihrab. Sesuai petunjuk Kiai Abdullah, sang guru, Nyai Wagirah harus mencari keberadaan bambu jabal, yang berbatang tegak kecil di tengah rimbunnya bambu jenis ori. Nah, di bawah tanda alam itulah terdapat batu yang bisa digunakan sebagai fondasi atau titik awal pembangunan masjid. Masjid ini dibangun oleh Nyai Wagirah, bersama tiga anaknya, yakni KH. Mardani, Nyai Amin, dan Nyai Mariyam. Waktu yang dipilih untuk membangun juga berbeda, yakni malam hari, sehingga masjid juga mendapatkan sebutan Masjid Tiban, yang tiba-tiba ada tanpa diketahui pembangunannya. Sebab, pada siang hari, KH. Mardani, harus berada di markas tentara Belanda, karena dilarang membangun masjid pada masa itu. Generasi pertama dan kedua perintis Masjid Baitus Salam, dimakamkan pada area belakang masjid. Makam Nyai Wagirah, juga dikenal dengan sebutan makam Mbah Ibu. Saat ini, amanah menghidupkan masjid sudah berada pada generasi ketiga.

Jumat, 24 Juni 2016

Masjid Al Sulthon (15)


Masjid Al Sulthon yang berada di Dusun Plampangan, Desa Jugo, Kecamatan Kesamben, dibangun oleh KH. Rofi’i. Tokoh Islam asal Bagelen, Jawa Tengah, ini merupakan salah seorang prajurit Pangeran Diponegoro, yang kedatangannya di Desa Jugo, hampir bersamaan dengan Mbah Zakaria atau Mbah Djoego, sekitar 1830 silam. Usai menetap di wilayah Kesamben, pada 1837 silam, KH. Rofi’i, awalnya membangun sebuah musala dan kemudian pada 1847 silam, dibangun menjadi masjid. Awalnya masyarakat Desa Jugo dan sekitarnya, menunaikan ibadah Salat Jumat di Masjid Al Ikhlas, Dusun Kauman, Desa/Kecamatan Kesamben. Namun, karena kapasitas jamaah sudah mulai penuh, akhirnya musala yang dirintis KH. Rofi’i dijadikan sebuah masjid. Pada zaman dulu, Masjid Al Sulthon, menampung jamaah dari desa Jugo, Pagergunung, Ngadri (Binangun), hingga Kalirejo (Kalipare).

Kamis, 23 Juni 2016

Masjid Thoriqul Ubudiyah (14)


Masjid Thoriqul Ubudiyah, berada di Lingkungan Kebonsari, Kelurahan/Kecamatan Garum. Pertama kali dibangun oleh KH. Abdurrahman pada 1910 silam. Kawasan Lingkungan Kebonsari menjadi pusat penyebaran agama Islam pada masanya dan merupakan tempat yang aman dari incaran penjajah maupun penjahat. Hal itu tak lain karena kewibawaan KH. Abdurrahman yang mengasuh Pondok Pesantren Darussalam. Masjid ini awalnya berupa musala kecil yang biasa disebut Musala Kebonsari.

Rabu, 22 Juni 2016

Masjid Al Faqih (13)


Masjid Al Faqih yang dibangun pada 1892 silam oleh KH. Imam Faqih, berada di Dukuh Bandung, Desa Tlogo, Kecamatan Kanigoro. Awal dakwah Mbah Faqih, bersama Hj Maimunah, istrinya berawal sekitar 1884 silam. Tokoh Islam asal Bagelen, Jawa Tengah, merupakan keluarga yang mengawali kampung di ujung selatan Desa Tlogo. Sebelumnya, sudah banyak yang mencoba babat hutan namun gagal dan ketika kedatangan Mbah Faqih, akhirnya berhasil. Keberhasilan itu kemudian dijadikan nama Dukuh Bandung, yang berasal dari kata Mandung, yang artinya banyak. Pada masa penjajahan Belanda, kawasan masjid juga digunakan sebagai pos para pemuda pejuang melawan penjajah Belanda.

Selasa, 21 Juni 2016

Masjid Al Hikmah (12)


Masjid Al Hikmah yang dibangun oleh KH. Muhammad Toyib, berada di Dusun Langkapan, Desa Maron, Kecamatan Srengat. Perjuangan penyebaran Islam di Desa Maron, berawal dari kedatangan tiga prajurit Pangeran Diponegoro, sekitar 1830 yang memiliki keahlian yang berbeda. Mereka adalah KH. Muhammad Toyib (ahli agama Islam), Mbah Bendil Kariyadi (ahli pemerintahan), dan Mbah Bauniti (ahli Kejawen). Mbah Toyib yang berasal dari Ponorogo, kemudian membangun masjid kecil atau Masjid Langkapan, cikal bakal Masjid Al Hikmah. Pada generasi kedua, KH. Abdul Karim, kemudian dirintis berdirinya pondok pesantren. Pada masanya, tempat ibadah ini menjadi basis perkembangan Islam di wilayah Srengat selatan. Masjid secara resmi didirikan pada 1875, yang mampu menampung jamaah dari Srengat selatan. 

Senin, 20 Juni 2016

Musala H. Bakar (11)


Kawasan Musala H. Bakar di Dusun Kolomayan, Desa Kolomayan, Kecamatan Wonodadi, ini pada masa Agresi Militer Belanda pernah digunakan sebagai markas sementara tentara Belanda. Kala itu, tentara Belanda menempati rumah keluarga besar H. Bakar, yang berada di timur musala. Musala ini juga menjadi jujugan masyarakat untuk mengungsi ketika terjadi letusan Gunung Kelud, pada 1951 dan 1966. Sebab, fondasi musala memiliki tinggi dua meter, sehingga masyarakat merasa lebih aman. Musala ini dibangun oleh H. Bakar, yang berasal dari wilayah Mataram Islam di Jawa Tengah, pada pertengahan 1800-an. Diperkirakan H. Bakar merupakan salah seorang prajurit Pangeran Diponegoro, yang menyebar ke wilayah Blitar Raya, pada rentang 1825-1830. H. Bakar juga memiliki hubungan kerabat dengan Mbah Kamogo, pendiri Dusun Kamogan, Desa Kolomayan.

Minggu, 19 Juni 2016

Masjid Al Hasan (10)


Masjid Al Hasan berada di Dusun Jabung, Desa Jabung, Kecamatan Talun. Masjid ini awalnya berupa masjid kecil yang dirintis oleh Kiai Abu Hasan, pada pertengahan 1800-an. Kiai Abu Hasan merupakan tokoh Islam asal Sunda yang menetap di Desa Jabung, selama beberapa tahun sebelum kembali ke tanah kelahirannya. Masjid ini sudah berdiri lebih dari empat generasi. Generasi pertama Kiai Abu Hasan, generasi kedua KH. Harjo Besari, generasi ketiga KH. Muhammad Maulan, hingga generasi keempat Kiai Nurudin. Saat ini, aktivitas masjid dihidupkan oleh generasi keempat dan kelima Kiai Abu Hasan.

Sabtu, 18 Juni 2016

Masjid Darul Kurmain (09)



Masjid Darul Kurmain berada di Dusun Kuwot, Desa Kemloko, Kecamatan Nglegok. Tahun pembangunan masjid sendiri tidak ada catatan pasti yang dimiliki keluarga besar H. Imam Kurmain. Diperkirakan masjid ini dibangun pada masa H. Imam Kurmain, belum memiliki anak atau pascapelariannya dari Bagelan, Jawa Tengah, bersama istrinya pada rentang 1825-1830. Tokoh ini diperkirakan adalah prajurit Pangeran Diponegoro, yang menyebar ke wilayah Blitar Raya, usai Perang Jawa. Salah satu cirinya, dulu di sisi utara masjid terdapat dua pohon sawo yang sangat besar. Namun, pada 1945 silam, dua pohon sawo itu ditebang. Selain itu, juga ada sumur tua di halaman masjid yang diuruk pada 1966 silam.

Jumat, 17 Juni 2016

Masjid Baitul Kariim (08)


Masjid Baitul Kariim atau Masjid Kuningan berada di Lingkungan Tawangsari, Kelurahan Tawangsari, Kecamatan Garum. Pada masa perjuangan, selain sebagai pusat perkembangan ilmu agama Islam, kawasan masjid biasa digunakan untuk penggemblengan para pemuda pejuang. Lokasinya yang tersembunyi, membuatnya sangat strategis untuk berlatih dan menyusun perlawanan terhadap penjajah Belanda. Masjid ini diperkirakan dibangun pada pertengahan 1800-an. Pertama kali Masjid Baitul Kariim dibangun oleh KH. Khasan Masngut, asal Bagelen, Jawa Tengah. Diperkirakan tokoh Islam ini merupakan salah seorang prajurit Pangeran Diponegoro yang menyebar ke wilayah Blitar Raya, setelah Perang Jawa pada rentang 1825-1830. Tempat ibadah ini merupakan masjid yang pertama di Kecamatan Garum.

Rabu, 15 Juni 2016

Musala An Nur (07)


Musala An Nur berada di Jalan Kemuning, Lingkungan Krajan, Kelurahan Plosokerep, Kecamatan Sananwetan. Bentuk aslinya masih dipertahankan dan yang paling menonjol adalah dindingnya yang masih berupa anyaman bambu. Musala An Nur ini memiliki banyak sebutan dari masyarakat, seperti Langgar Angkring An Nur, Langgar An Nur, hingga Langgar Panggung Diponegoro. Terkait pembangunan musala ini, masyarakat tidak ada yang mengetahui secara pasti tahunnya dan siapa orangnya. Melihat ciri banyak pohon sawo di kawasan musala, diperkirakan dibangun oleh prajurit Pangeran Diponegoro atau keturunannya, pada pertengahan 1800-an, usai Perang Jawa pada 1825-1830.

link FB: Musala An Nur

Selasa, 14 Juni 2016

Masjid Baiturrahman (06)


Masjid Baiturrahman berada di Dusun Pucungsari Kidul, Desa Slorok, Kecamatan Garum. Tempat ibadah ini dibangun pada 1926 silam oleh Kiai Hasan Wahid, dengan bangunan awal berupa masjid kecil. Untuk mengenang jasa beliau, jalan desa menuju masjid diberi nama Jalan Kiai Hasan Wahid. Pada masa penjajahan Belanda, umat Islam yang menunaikan Salat Jumat harus mendapatkan penjagaan tentara Belanda, karena khawatir digunakan untuk menyusun rencana melawan Belanda. Namun, Kiai Hasan Wahid punya cara tersendiri untuk mengecoh Belanda dengan khotbah bahasa Arab penuh, sehingga tentara Belanda tidak mengerti.

link FB: Masjid Baiturrahman

Senin, 13 Juni 2016

Musala Abdul Gani (05)


Musala Abdul Gani ini juga memiliki julukan Masjid Sulukan, meski sebenarnya adalah sebuah musala. Musala yang berada di Dusun Gading, Desa/Kecamatan Selopuro, ini dibangun oleh H. Abdul Gani sekitar 1930 silam. Pada masanya, musala ini menjadi jujugan sejumlah orang sepuh untuk mendalami ilmu Islam, dalam kegiatan pesulukan.

link FB: Musala Abdul Gani

Minggu, 12 Juni 2016

Musala An Nur (04)


Musala An Nur di Dusun Dermosari, Desa Gadungan, Kecamatan Gandusari, pada masa penjajahan memiliki fungsi ganda. Selain untuk ibadah, kawasan musala juga digunakan para pemuda pejuang untuk berlatih dan sebagai basis perlawanan terhadap penjajah Belanda yang bermarkas di wilayah Wlingi. Lokasinya yang tersembunyi, membuatnya cukup strategis sebagai basis para pejuang. Musala ini dibangun oleh Imam Basarudin, pada 1940 silam. 

link FB : Musala An Nur

Sabtu, 11 Juni 2016

Masjid Baiturrohim (03)


Masjid Baiturrohim ini berada di Dusun Banjarsari, Desa Bakung, Kecamatan Udanawu. Diperkirakan dibangun pada pertengahan 1800-an, oleh Kiai Yahya asal Salatiga, Jawa Tengah, yang awalnya berupa musala kecil. Kala itu, masjid ini menjadi jujugan Salat Jumat di wilayah Udanawu, karena saat itu belum ada masjid dan pondok pesantren yang berdiri di wilayah Udanawu. Tidak ada catatan pasti terkait pembangunan tempat ibadah ini, namun pada 1890 masjid sudah berdiri kokoh dan bertahan hingga saat ini. Diperkirakan Kiai Yahya, merupakan pengikut Pangeran Diponegoro yang menyebar ke wilayah Blitar, pada rentang 1825-1830. Sebab, dulu sebelum 1965 tempat ini di kelilingi sekitar 5-6 pohon sawo yang merupakan ciri-ciri bangunan tempat ibadah yang dibangun oleh pengikut Pangeran Diponegoro.

link FB: Masjid Baiturrohim

Jumat, 10 Juni 2016

Musala At Taqwa (02)


Musala At Taqwa berada di lokasi agak tersembunyi, karena berada di belakang rumah Bapak Damanhuri. Musala yang menjadi saksi perkembangan Islam di Dusun Darungan, Desa Jiwut, Kecamatan Nglegok, ini dibangun oleh H. Khadir pada 1920 silam. Setelah 96 tahun berdiri, Musala At Taqwa masih dihidupkan oleh keluarga dan masyarakat sekitar hingga saat ini. Meski bangunannya sederhana, musala ini masih berdiri dengan kokoh.

link FB: Musala At Taqwa

Kamis, 09 Juni 2016

Musala Baitul Amin (01)


Musala Baitul Amin dengan ciri khas menara menjulang ini berada di Dusun Centong, Desa Sawentar, Kecamatan Kanigoro. Pertama kali dibangun pada 1928 silam oleh H. Amin. Selain sebagai tempat ibadah, musala ini juga menjadi pusat penggemblengan pemuda pejuang melawan penjajah Belanda dan Jepang. Musala ini masih berdiri kokoh hingga saat ini setelah 88 tahun dibangun.