Rabu, 09 November 2011

Kisah Tukirin, mantan PETA yang Masih Hidup


Nyaris Tembak Supriyadi, Uang Pensiun untuk Kuliah Cucu

Tukirin selalu terharu ketika tiba 10 November. Mantan pejuang tentara Pembela Tanah Air (Peta) ini mengenang perjuangan pahlawan dulu. Kini di usianya yang menginjak 90 tahun merasakan kebahagian ketika melihat anak cucunya merasakan kemerdekaan. Berikut laporannya.

Yanu Aribowo, Blitar

Usianya sudah tak muda lagi. Usia Tukirin sudah menginjak kepala Sembilan. Dengan badan kurus dan tulangnya mulai ringkih menghabis masa tua di rumahnya sendiri bersama istri tercinta. Ditemui di rumahnya berukuran 6 x 3,5 meter di Dusun Bululawang, Desa Bendo, Kecamatan Ponggok, Tukirin hidup sendiri tak mau merepotkan anaknya. Padahal di sebelahnya, terdapat rumah Suprihatin, 45, anak bungsu yang bangunannya relatif lebih besar dan nyaman. Sebelumnya rumah mungil yang  antara ruang tamu dan kamar tidur berpadu menjadi satu itu terbuat dari  gedhek. Tapi, sejak setahun terakhir rumah itu telah mendapatkan bantuan renovasi dari Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur.

Di rumah mungil itu, pria yang dilahirkan pada 1921 silam itu tinggal berdua bersama istrinya, Marsini, 84. Jika pada masa mudanya, Tukirin menjadi tentara Peta, perempuan kelahiran 1927 itu menjadi ketua Fujinkai, barisan perempuan bentuk pemerintahan Jepang. Keduanya menikah pada sekitar 1946, dan dikarunia lima orang anak. Kelima anaknya telah tersebar di beberapa kota, hanya Suprihatin yang mendapatkan tugas mendampinginya.  Selain dikaruniai lima anak, pasutri itu juga dikaruniai 17 cucu dan 14 cicit. Tentu saja hal itu sudah sangat membahagiakan Tukirin dan Marsini.

Kemarin saat Radar Blitar berkunjung ke rumahnya, pasutri itu sedang leyeh-leyeh di teras rumah Suprihatin. Setiap hari, keduanya hanya berdiam diri di rumah dan sangat jarang bepergian keluar kota. Itu karena  fisiknya tak mampu lagi bepergian. Saat ditanya tentang perjuangannya tempo doeloe, wajahnya Tukirin tampak semringah. Dia dengan senang hati mau berbagi. Diceritakannya, perjuangannya merebut kemerdekaan dimulai saat dirinya berusia 20 tahun menjadi tentara Peta.  Dia anak buah Shudancho Supriyadi. “Saya sebagai Giuwei (prajurit, Red), saat ada sekitar 35 orang yang ikut Supriyadi,” ucapnya dalam bahasa Jawa.

Pada dini hari, 14 Februari 1945 silam, sekitar pukul 00.00 dia bersama rekan-rekannya dikumpulkan oleh Supriyadi bersiap melakukan pemberontakan terhadap penjajah Jepang. Tukirin masih teringat saat diberi pesan jika nanti ada seseorang keluar dari asrama berpakaian putih-putih agar siaga. Bahkan diperintahkan untuk menembaknya. Benar saja, dini hari itu ada seseorang yang keluar dari asrama berpakaian putih-putih. Tak pelak, Tukirin dan Tumijan, bersama dua rekan lainnya langsung mengoperasikan senjata otomatis dan menembak orang tersebut. Tak tahunya orang itu adalah Supriyadi sendiri. “Siapa yang menembak?, Saya pak (Tumijan, Red), Bagus,” kata Tukirin menirukan percakapan Supriyadi dengan Tumijan.
Itu kesetiaan dan kepatuhan terhadap pemimpin. Tukirin menuturkan, pasca pemberontakan itu Supriyadi bersama pasukannya bergeser menuju wilayah perbatasan Kota Blitar di sekitar Desa Bangsri, Kecamatan Nglegok. Sekitar pukul 04.00 dini hari, Supriyadi kemudian berpamitan kepada pasukannya hendak mengambil senjata di Gunung Kelud. Nah, semenjak kepergian Supriyadi pucuk pimpinan pasukan saat itu beralih pada Shudancho Soenarjo. Sejak saat itu pula, Tukirin tidak pernah melihat sosok Supriyadi lagi. Dalam pelariannya, Tukirin akhirnya tertangkap pemuda desanya sendiri di Desa Bendo, hingga kemudian dia diserahkan kepada Impitei atau polisi Jepang. “Saya dipenjara tiga bulan di Jakarta. Saya masih ingat diantara yang nangkap adalah Supar, tapi saya tidak dendam. Mungkin saat itu pemuda masih takut dengan Jepang,” akunya yang diamini Marsini.
Terkait sosok Supriyadi, jika saat ini masih hidup, dia masih bisa mengenalinya. Sebab dia mengenali ciri khusus yang dimiliki pimpinannya itu.  Meski beberapa tahun belakangan ada orang yang mengaku sebagai Supriyadi.  Soeprijadi memiliki tahi lalat di dagu sebelah kanan. Jadi, jika ada orang yang mengaku sebagai Supriyadi dan tidak memiliki tahi lalat itu jelas palsu atau hanya mengada-ada. Pada tahi lalat itu tumbuh rambut hitam yang keriting sepanjang lima sentimeter. “Sepanjang ini,” ucap Tukirin sambil menunjukkan jari kelingking kanannya.
Kini sebagai jasa atas perjuangan, dia mendapatkan dana pensiun dengan pangkat Serma sebesar Rp 1,993 juta per bulannya. Karena usai kemerdekaan dia ikut masuk menjadi TNI, Serma Tukirin pensiun pada 1964. Selain itu, sejak 1997, dia mendapatkan dana bagi pejuang perintis (Peta) yang diterima sebesar Rp 1,807 per bulannya, serta setahun sekali pada kisaran bulan Agustus hingga Desember Tukirin juga mendapatkan tunjangan sekitar Rp 8 juta. Namun semua itu, tidak dihabiskan berdua dengan istrinya. Agar dana itu bermanfaat, Tukirin memberikan kepada anak-anaknya untuk membantu uang kuliah beberapa cucunya. “Kalau buat makan saja tidak akan habis,” ujar Marsini sambil tersenyum.
Dengan usianya kini, memegang uang sendiri tentu menjadi kekhawatiran tersendiri bagi keluarganya. Pernah Tukirin memiliki pengalaman lucu pada saat diberikan uang sendiri. Beberapa bulan lalu, saat dia memegang dua uang pecahan Rp 100 ribu, dia menyerahkan semuanya untuk ongkos angkot dan tukang ojek saat mengikuti pertemuan di Koramil Ponggok. “Seratus ribu untuk angkot, dan seratus ribu untuk ojek. Bapak kira itu sepuluh ribuan, makanya dia tidak mau menerima uang kembaliannya,” ujar Suprihatin. (*)


Sumber: Radar Blitar


17 komentar:

  1. salut untuk eyang tukirin.salut juga untuk pemerintah blitar..semangat truss om yanu aribowo..anda telah memuat berita yang LAYAK untuk dibaca oleh warga blitar..maju trusss..!!!!

    BalasHapus
  2. Semoga generasi muda tidak lupa dengan perjuangan pahlawan kita

    BalasHapus
  3. Terima kasih atas perjuangan Bapak....Semoga Alloh SWT melimpahkan segala RahmatnNYA kepada Bapak....di beri sehat selalu beserta keluarganya

    BalasHapus
  4. saya sebagai Tentara dan Putra Asli Blitar...akan melanjutkan Perjuangan Eyang,,,,semoga Segala pengorbanan Eyang di catat sebagai amal Ibada dr Allah SWT.. dan Eyang selalu di beri kesehatan...aaammmiiieennn

    BalasHapus
  5. Terima kasih Eyang atas segala jasa2 & perjuangan mu..Semoga segala perjuangan Eyang di balas Allah SWT..Aamiin..Dan semoga pemerintah juga bisa lebih memperhatikan Tukirin Tukirin lainnya,yg hingga saat ini masih hidup serba kekurangan..

    BalasHapus
  6. insyaallah, supriadipun masih hidup iyang

    BalasHapus
  7. insyaallah, supriadipun masih hidup iyang

    BalasHapus
  8. salut,miris dengan generasi sekarang,generasi cenggeng,cubit guru saja sudah laporan

    BalasHapus
  9. apakah mbah tukirin masih hidup hingga saat ini ?
    saya ingin bertanya kepada beliau tentang photo yang saya dapat dari sumbernya langsg,apakah beliau masih ingat wajah sudanco supryadi ?

    BalasHapus
  10. I dedicate this little work to Blitar Raya, may be useful. This blog contains interesting things around Blitar Raya.
    togel singapore

    BalasHapus
  11. Apakah ada terlintas sejarah bahwa pahlawan sudanco supriyadi berjuang ke luar daerah jawa, misalkan ke daerah kalimantan yg diperintah oleh soekarno

    BalasHapus
  12. Almarhum mbahku juga mantan anggota peta Blitar, foto2 anggota peta Blitar masih ada di rumah klojen semoga diberi kesempatan bertemu Mbah Tukirin / veteran peta lainnya siapa tahu masih ingat kakek saya soeparman,

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kakek saya nama lengkapnya soeparman Soedarno, tapi sudah wafat tahun 2004. Kalo mau fotonya hub email : @alifsudiro71@gmail.com
      Setelah itu lanjut wa. Terimakasih 🙏

      Hapus
    2. Kakek saya nama lengkapnya soeparman Soedarno, tapi sudah wafat tahun 2004. Kalo mau fotonya hub email : @alifsudiro71@gmail.com
      Setelah itu lanjut wa. Terimakasih 🙏

      Hapus