Oleh Jafar Sidik
Rabu usai waktu Isya, 4 Desember 1974, 111 warga Blitar, 16 orang
dari Lamongan, 50 warga asal Sulawesi Selatan, 2 orang penduduk kota
Surabaya, dan 3 dari Kalimantan Timur, terbang dari Bandara Djuanda,
Surabaya. Tujuan terakhir mereka adalah Mekah, tetapi pesawat mesti singgah
dulu di Srilangka karena harus mengisi dulu bahan bakar. Mereka hendak
menunaikan rukun Islam yang kelima, haji. Saat itu tak ada penerbangan langsung ke Mekah, sementara Garuda
Indonesia Airways harus mencarter maskapai lain karena armada kurang.
Jenis pesawat carteran yang ditumpangi 128 calon haji Indonesia itu
adalah DC-8 55f produksi McDonald Douglash tahun 1966, milik maskapai
Belanda, Martin Air. Sementara itu di Srilanka, empat jam sejak pesawat Martin Air itu
tinggal landas dari Surabaya, Peerkhan Seiyadu yang saat itu berumur 36
tahun, dikejutkan oleh deru suara pesawat yang lebih keras dari
biasanya. Saat itu pukul 8 malam waktu Srilanka, Sieyadu melihat pesawat yang
terbang terlalu rendah dari arah timur dan tampak hendak menghindari
tebing tinggi berselimutkan kabut. “Terlambat, tebing tinggi itu tak bisa dihindari. Pesawat itu
menabrak tebing, lalu memercikan api, hancur berkeping-keping,” kisah
Sieyadu kepada ANTARA, 36 tahun kemudian, di Maskeliya, Srilanka, Kamis
(19/8).
Pria beribu Afghanistan dan berayah India ini kini berusia 72 tahun,
tapi dia hafal betul detail kecelakaan yang dicatat sebagai salah satu
kecelakaan transportasi terburuk di Srilanka itu. Seiyadu menuturkan, tidak ada satu pun korban ditemukan dalam keadaan
utuh, kecuali jenazah pramugari berkebangsaan Belanda, yang kondisi
tubuhnya pun sudah sangat mengkhawatirkan. Beberapa minggu setelah peristiwa tragis dan investigasi mengenai
kecelakaan itu rampung, pemerintah Indonesia membangun monumen, sekitar
400 meter dari tebing di mana kecelakaan terjadi. Tebing itu dikenal sebagai puncak kelima dari rangkaian tujuh puncak
yang belum pernah ditaklukan manusia. Orang Srilanka menyebutnya
“Anjimalai” atau “Seven Virgins.”
Di daerah itu, ada satu puncak yang terkenal ke seluruh dunia, Adam`s
Peak atau Sri Pada, yang diyakini banyak pemeluk agama di Asia Selatan
dan sebagian Timur Tengah sebagai tempat suci. Kaum Muslim dan Kristen mempercayai puncak itu sebagai tempat di mana Nabi Adam pertama kali menjejakkan kaki di bumi. Pemeluk Budha yang mayoritas di Srilanka sendiri meyakini telapak
kaki di puncak gunung itu adalah milik Sidharta Budha Gautama, sedangkan
umat Hindu mengklaimnya sebagai jejak Dewa Syiwa.
Daerah berbukit-bukti di Maskeliya itu sekilas mirip kawasan sekitar
Danau Toba di Sumatera Utara, sementara jalanan yang menjadi jalur untuk
mencapainya mirip daerah Pusuk, Gili, di Pulau Lombok. Situs sekitar bencana itu sendiri sebenarnya indah menawan,
menyerupai wilayah sekitar Gunung Bromo di Jawa Timur atau sekitar
Gunung Papandayan di pertemuan Garut dan Pangalengan, Jawa Barat. Monumen kecelakaan haji itu hingga kini tetap terawat, tapi hanya
Kedutaan Besar RI di Colombo yang rutin menapaktilasi perjalanan iman
ke-128 orang yang kemudian dimaklumatkan sebagai syuhada atau mati
syahid oleh pemerintah Indonesia. “Tak pernah ada keluarga korban yang datang ke sini,” ujar Seiyadu yang kini telah memiliki cucu empat orang.
Pengakuan Seiyadu dibenarkan para diplomat Indonesia dari Kedutaan Besar RI di Colombo. “Kami rutin ke sini, setidaknya untuk mewakili keluarga korban menziarahi para warga Indonesia itu,” kata seorang diplomat muda. Kamis tanggal 19 Agustus 2010, Duta Besar RI di Srilanka dan seluruh
stafnya memang mengunjungi monumen di Seven Virgins, yang jauhnya
sekitar 6 jam atau sekitar 220 km dari pusat kota Kolombo. Perjalanan itu memang pantas disebut perjalanan ziarah, sehingga
ketika mengakhiri kunjungan ke monumen, rombongan perwakilan RI di
Srilanka itu menggelar salat gaib untuk mendoakan para korban kecelakaan
pesawat 36 tahun silam itu.
sumber berita : rs.syuhadahaji.com
sumber foto : www.flickr.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar