ACHMAD SODIKI
Menjadi hakim konstitusi seperti mimpi bagi Prof. Dr. H. Achmad Sodiki, S.H. Sejujurrnya, ia tak pernah bercita-cita menjadi hakim konstitusi. Baginya, sudah merasa bersyukur ketika ia dipercaya menjadi Guru Besar Hukum Universitas Brawijaya, Malang. “Cita-cita saya sudah pol!” sergahnya. Selain menjadi dosen, ia menduduki posisi strategis sebagai guru besar. Lantas, bagaimana mula pertama hingga ia dipercaya menjadi hakim konstitusi? Simak kisahnya.
Menjadi hakim konstitusi seperti mimpi bagi Prof. Dr. H. Achmad Sodiki, S.H. Sejujurrnya, ia tak pernah bercita-cita menjadi hakim konstitusi. Baginya, sudah merasa bersyukur ketika ia dipercaya menjadi Guru Besar Hukum Universitas Brawijaya, Malang. “Cita-cita saya sudah pol!” sergahnya. Selain menjadi dosen, ia menduduki posisi strategis sebagai guru besar. Lantas, bagaimana mula pertama hingga ia dipercaya menjadi hakim konstitusi? Simak kisahnya.
Suatu
ketika, tepatnya 29 Juli 2008, tiba-tiba ia disapa mantan muridnya saat
mengikuti The International Conference of Islamic Scholars (ICIS).
Mereka pun mengobrol dan diketahui suami mantan muridnya itu adalah
Dirjen Perundang-undangan, Abdul Wahid, yang juga pernah kuliah di
Universitas Brawijaya. Karena itulah, mantan muridnya itu menelepon
suaminya tentang pertemuan dengan Achmad Sodiki.
Selang beberapa
lama, terdengar dering ponsel mantan muridnya dan ternyata ditujukan
kepada Achmad Sodiki. Dalam percakapan itu, ia diminta mengisi formulir
calon hakim konstitusi. Dalam hatinya, menjadi hakim konstitusi
merupakan tantangan cukup berat. Saat itu ia tidak langsung mengiyakan
untuk menjadi calon hakim konstitusi, karena ia juga meminta
pertimbangan isterinya.
Singkat cerita, akhirnya Achmad Sodiki
memasukkan formulir pendaftaran untuk jadi hakim konstitusi. Ia pun
menyertakan makalah berjudul “Tentang Hubungan Masyarakat Adat dengan
UUD 1945”. Tunggu punya tunggu, beberapa hari setelah mengikuti tes, ia
mendapat telepon dari Sekretaris Negara untuk menghadap presiden. Ia
kaget, tak menyangka mendapat jabatan penting tersebut. Namun, ia
percaya jabatan sebagai hakim konstitusi adalah amanah dari Allah SWT.
Dibesarkan oleh Kakek dan Nenek
Achmad
Sodiki lahir di Blitar, 11 November 1944. Masa kanak-kanak pria yang
akrab disapa Sodiki ini, dijalani bersama kakek dan neneknya, disebabkan
orangtuanya bercerai. Sang kakek, K.H. Imam Buchari mendidik dan
membesarkannya, bahkan membiayai sekolahnya. “Jangankan cucu sendiri,
buruh penyabit rumput di rumah pun dibiayai sekolahnya oleh kakek saya,”
tutur Sodiki mengenai kakeknya yang merupakan tokoh Syarikat Islam dan
pejuang kemerdekaan.
Perhatian kakek terhadap pendidikan Sodiki
begitu besar. Suatu hari misalnya, Sodiki pernah dimarahi kakeknya
karena tidak mau sekolah. Alasannya, ia mengalami sakit demam. Kakeknya
bersikeras, ia harus berangkat ke sekolah. “Kecuali benar-benar tidak
bisa pergi,” ungkap Sodiki mengenang masa itu. Di masa itu pula, Sodiki
sangat suka menonton wayang. Kakeknya kerapkali menggendong Sodiki
untuk menyaksikan hiburan khas itu. Ia tak segan-segan menonton wayang
kemana-mana, dari desa ke desa dan rela begadang untuk hobinya.
Diungkapkannya, ada banyak filosofi yang dapat diambil dari kisah
pewayangan, menggambarkan sisi baik dan benar. Didalamnya terkandung
epik, seperti cerita Pandawa, yang mengajarkan seseorang untuk tabah dan
menderita sebelum mencapai kesuksesan.
Diluar pendidikan umum,
Sodiki mendapat pendidikan keagamaan dari pamannya, K.H. Abdul Rachman,
antara lain mengajarkan shalat dan membaca Al-Qur’an. Namun, di kemudian
hari muncul persoalan, terkait pendidikan umum dan pendidikan keagamaan
yang dijalaninya. Saat lulus SD, kakek menghendaki ia melanjutkan ke
SMP, sedangkan pamannya ingin agar Sodiki masuk pesantren. “Bapakmu
punya kebun kelapa, buat apa sekolah, pesantren saja,” kata pamannya
ketika itu.
Pamannya khawatir, menimba ilmu di sekolah umum,
Sodiki akan menjadi pegawai. Padahal pandangan masyarakat desanya
terhadap ambtenaar kala itu cukup negatif. Jabatan tersebut identik
dengan Belanda. Menulis latin dan memakai dasi hukumnya haram, karena
meniru Belanda. “Untuk meredakan ketegangan, akhirnya saya berhenti
sekolah dulu,” imbuh pria simpatik ini.
Keputusan Sodiki untuk
tidak melanjutkan ke SMP, sempat membuat teman-teman SD-nya
bertanya-tanya. Mereka mengira Sodiki akan menikah, karena di masa itu
lazimnya orang berhenti sekolah langsung menikah. Seringkali disindir,
hati Sodiki kian rikuh dan jadi malu. Harga dirinya terusik, hingga ia
berinisiatif meneruskan studi ke SMP dan tetap belajar agama.
Masuk Fakultas Hukum, Tak Punya Bayangan Sama Sekali
Tahun
demi tahun, tiada terasa Sodiki sudah menginjak bangku SMA dan berhasil
mendapat nilai tertinggi di SMA. Lulus SMA, ia mendapat kesempatan
kuliah di Malang. Kakeknya menganjurkan Sodiki masuk fakultas hukum,
meski sejujurnya ia mengatakan tidak punya bayangan sama sekali
mengenai dunia hukum. “Wis pokoknya sekolah saja,” ujarnya.
Singkat
cerita, ia pun mulai kuliah di Universitas Brawijaya, Malang. Bersama
lima orang temannya, ia mengontrak sebuah rumah. “Kata kakek, kamu nggak
boleh senang-senang di sana,” kenang Sodiki. Setiap bulan ia pulang
membawa bekal beras dari neneknya di kampung. Dari pengalaman itulah
Sodiki mengerti bahwa kakek dan neneknya sedang mengajari agar ia tetap
jujur, sungguh-sungguh dan tidak cepat ingin nikmat dengan segala
sesuatu. Ia harus tahu bahwa sukses seseorang itu harus dimulai dari
yang sulit.
Di rumah kontrakan itu Sodiki tinggal bersama
mahasiswa dari tiga organisasi yang berbeda, yaitu Himpunan Mahasiswa
Islam (HMI), Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia (GMNI), dan Central
Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI). Namun, Sodiki tidak mempersoalkan
perbedaan organisasi tersebut, meski ia merupakan anggota HMI. Pada
prinsipnya, tiga organisasi itu bersaing secara sehat.
Di masa
kuliah pula, ia dan teman-temannya sempat mengalami situasi politik yang
panas akibat pergolakan PKI (1966-1967). Bahkan ia juga ikut
demonstrasi, karena saat itu mahasiswa ‘bergandengan tangan’ dengan
ABRI. Selain itu, ada cerita lain terkait dengan kondisi politik saat
itu. Ia pernah membebaskan temannya, anggota GMNI dari penjara. “Waktu
itu kan sedang keras-kerasnya militer,” tuturnya. Temannya yang suka
kelepasan bicara itu ditangkap ketika sedang kuliah kerja nyata (KKN)
dan dijebloskan ke tahanan POM di Blitar, lalu dipindahkan ke Madiun.
Ironisnya,
temannya itu tak pernah diadili, hingga membuat dirinya prihatin.
Alhasil Sodiki pun mengirim surat ke PO Box 999. Kotak pengaduan itu
disediakan oleh Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan
Ketertiban (Pangkopkamtib), Laksamana Sudomo. Dalam suratnya, Sodiki
meminta kejelasan status hukum temannya. “Saya meminta agar segera
diproses dan ditentukan hukumannya,” katanya. Tak lama setelah ia
mengirim surat, akhirnya temannya keluar dari tahanan.
Dari Dosen Hingga Hakim Konstitusi
Tahun
1970 Sodiki lulus kuliah dan kemudian menjadi dosen di kampusnya, satu
angkatan dengan Abdul Mukthie Fadjar yang lebih dulu diangkat sebagai
hakim konstitusi. Sepanjang kariernya sebagai dosen, ia menjabat sebagai
Pembantu Dekan I FH Universitas Brawijaya (1979-1983), Ketua Program
Studi Magister Hukum FH Universitas Brawijaya (1997), sebagai Guru Besar
Hukum Universitas Brawijaya (2000), serta menduduki kursi Rektor
Universitas Islam Malang (1998-2006).
Selanjutnya, tahun 2004 ia
diangkat menjadi anggota Komisi Konstitusi dan tahun 2008 ia dipercaya
menjadi Ketua Badan Kerjasama Pusat Kajian Agraria. Disamping itu,
Sodiki tercatat pula sebagai anggota Dewan Penyantun Sekolah Tinggi
Pertanahan Nasional Yogyakarta, dan kini ia menduduki posisi sebagai
hakim konstitusi. Lebih lanjut, Sodiki menjelaskan keberadaan dari
Mahkamah Konstitusi (MK) RI yang dibutuhkan dalam tatanan hukum
Indonesia. “Supaya negara hukum yang demokratis yang dicita-citakan
pendiri negara maupun bangsa, secepatnya bisa diwujudkan,” tegasnya.
Tapi, ungkap Sodiki, citra MK sangat bergantung pada pelaku di dalamnya.
Hal yang paling mudah dilihat adalah melalui putusan-putusannya.
Kualitas
putusan, menurut Sodiki, harus mencerminkan putusan yang dapat diterima
masyarakat sekaligus dapat dijalankan. “Kalau putusan terlalu ideal
juga, khawatir masyarakat belum siap melaksanakan,” ucapnya. Sebab itu,
kata Sodiki, dalam memutus perkara, hakim konstitusi harus
mempertimbangkan kemampuan masyarakat melaksanakan putusan tersebut.
Sumber : http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/
betul mbak, terkait seperti apa yang pernah mbak komen di blog saya. beliau ini memang kakak sepupu kedua/misan (?) saya (suami tepatnya). jadi kami memang termasuk satu keluarga besar, dari mbah KH. Imam Bukhori :)
BalasHapussaya mas lho mbak heheheeh
BalasHapus