Sejarah singkat tradisi siraman Gong Kyai Pradah dari berbagai sumber. Bermula pada 1704-1709, saat penobatan Raja Kartasura Sri Susuhunan Pakubuwono I. Raja mempunyai saudara tua, Pangeran Prabu, dari istri selir, yang merasa kecewa karena bukan dia yang mendapatkan amanah menjadi raja. Kala itu timbul niat untuk mencelakakan raja, dan diketahui raja sehingga Pangeran Prabu mendapatkan hukuman membuka hutan belantara di wilayah Lodoyo.
Merasa salah, Pangeran Prabu segera berangkat ke Hutan Lodoyo, bersama istrinya, Putri Wandhasari, dan pengawal setianya, Ki Amat Tariman. Mereka juga membawa pusaka bendhe, Kyai Bicak, sebagai tumbal di Hutan Lodoyo. Pangeran Prabu kemudian semedi di Hutan Pakel, Lodoyo Barat, dan pusaka gong itu dititipkan Nyi Rondo Potrosutho, dengan pesan “Setiap 1 Syawal dan 12 Maulud agar dimandikan dengan air kembang setaman,”. Air bekas memandikan gong bisa digunakan untuk obat dan kehidupan menjadi lebih tentram.
Suatu ketika, Ki Amat Tariman berpisah dengan Pangeran Prabu, dan memukul Gong Kyai Bicak tujuh kali dengan harapan pangeran datang. Namun yang datang malah sejumlah harimau buas, namun tidak menyerang dan malah menjaga Ki Amat Tariman. Sejak saat itu Gong Kyai Bicak mendapat sebutan Gong Kyai Macan atau Kyai Pradah. Hingga saat ini siraman Gong Kyai Pradah, masih tetap dilestarikan dan menjadi salah satu tujuan wisata andalan di Kabupaten Blitar. Tahun ini, siraman Gong Kyai Pradah dilaksanakan di Alun-alun Lodoyo, pada Minggu, 4 Januari 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar