Foto: yanu aribowo/radar blitar
PECINTA WAYANG: Suhendro Winarso memainkan wayang di sanggar di rumahnya kemarin.
Di tengah kesibukannya sebagai Kepala Bagian Tata Pemerintahan, Suhendro Winarso, 36, masih menyisakan waktu menyalurkan naluri berkeseniannya. Bapak tiga putri ini piawai memainkan wayang kulit. Berikut laporannya.
Yanu Aribowo, Blitar
Banyak orang mengira jika pria asal Lingkungan Karanganom, Kelurahan/Kecamatan Nglegok ini sosok pribadi yang keras. Namun dugaan itu tidaklah benar. Memang dilihat dari mimik wajahnya mengisyaratkan orangnya keras dan kaku. Tapi kenyataannya bertolak belakang dengan apa yang dikira selama ini. Suhendro Winarso sangat sumeh alias ramah. Itulah yang diungkapkan Suhendro atas persepsi seseorang, saat dikunjungi Radar Blitar di kediamannnya kemarin. Pembawaannya mudah bergaul dengan berbagai kalangan. Dan sikap itu juga yang dibawanya dalam penyaluran hasrat berkesenian. Dia bergelut dengan pecinta kesenian khususnya wayang kulit, mulai dari anak-anak hingga dewasa.
Pilihan Suhendro menjadi dalang bukanlah keputusan yang datang secara tiba-tiba. Sebelum memutuskan menjadi dalang pada Januari 2007 lalu, bertahun-tahun dia telah mencintai dunia pewayangan. Sejak bangku SD dia sudah demen wayang, yang ditularkan oleh keluarganya. Paman-pamannya menjadi dalang di Tulungagung. Meski sangat menggemari wayang kulit, saat itu tidak ada dalam benaknya ingin menjadi seorang dalang. Yang ada hanya sangat menyukai kesenian ini. Bahkan saking sukanya, Suhendro muda pernah melewatkan ujian semester ganjil gara-gara tertidur usai menyaksikan pergelaran wayang semalam suntuk. Hal itu terjadi saat menempuh pendidikan kelas II SMAN 1 Blitar, sekitar 1994 silam. “Saat itu ujian Fisika saya ketiduran. Sebab malamnya ada Ki Anom Suroto di Istana Gebang. Itu pengalaman paling berkesan, kalau tertidur sudah sering,” ujar suami Arum Kusmawati, 31, ini.
Meski sering menyaksikan wayang kulit, jenjang pendidikan dilalui dengan lancar. Perlahan namun pasti dia menyelesaikan pendidikannya mulai SDN Nglegok 01, SMPN 1 Nglegok, SMAN 1 Blitar dan lulus pada 1995. Selanjutnya dia melanjutkan pendidikan di Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) angkatan ketujuh jurusan Pemerintahan, di Jatinangor, Sumendang, lulus tahun 1999. Dan terakhir di Universitas Wijaya Putra, Surabaya. Pada akhir masa pendidikan di Jawa Barat itu, kenangan akan kecintaan pada wayang kulit juga menjadi perbincangan teman-temannya. Saat mendapatkan jatah pesiar (libur, Red) setiap Minggu, Suhendro memilih tetap di asrama. Waktu senggang itu dimanfaatkan untuk melihat tayangan wayang kulit di salah satu TV swasta. Padahal teman-temannya yang lain banyak yang keluar asrama. “Katanya saya aneh. Kalau lihat wayang saya bisa nangis, kalau sinetron tidak bisa,” ujar mantan Camat Ponggok ini.
Melihat kecintaannya pada wayang kulit, akhirnya pria dengan nama panggung Ki Suhendro Winarso ini memutuskan belajar dalang setelah kepergian Muyati, ibunda tercintanya, pada Januari 2007. Akhirnya dia belajar dalang ke Ki dalang Bambang Endro Yuwono, kerabatnya di Ngantru, Tulungagung. Hanya dua bulan menimba ilmu, Suhendro yang mendapatkan buah tangan dua wayang, yakni Setiyaki dan Ratu Sabrang langsung menggelar pentas di rumah orangtuanya, yang berada tak jauh dari rumahnya saat ini. Dia pentas gebyakan (memperkenalkan diri) disaksikan sekitar 40 dalang se-Blitar.
Dalam menjalankan pekerjaan sebagai dalang, dia mengambil aliran klasik sesuai dengan pakem kuno Nartosabdo. Namun banyak juga yang mengatakan jika dirinya bernuansa dalang sepuh. Yakni lebih banyak bermain pada emosi penonton. Yakni bisa membuat tertawa atau membawa emosi penonton. Penonton diajak larut dalam alur cerita yang dibawakannya. Dan jika memang harus memasukkan unsur campursari, biasanya maksimal hanya 1,5 jam. Jadi pernah ada pengalaman, meski ada selingan campursari, cerita yang dibawakan tetap sampai tuntas. Kalau normal biasanya, mulai pukul 21.00-04.00, saat itu karena banyak lagu, bubar baru pukul 06.00. “Sampai-sampai anggotanya ada yang protes. Soalnya saya kalau tidak selesai tidak puas, ceritanya harus tuntas,” tegas
Pada Juni mendatang, ada dua pentas yang harus dijalaninya, yakni hajatan sunatan di Bondowoso dan peringatan pernikahan emas kerabatnya. Walaupun sebenarnya bapak dari Alisha Lituhayu Winarso, 7; Kaylla Pramudhita Winarso, 5; dan Grishelda Bhuaneswari Winarso, lima bulan, tidak begitu memilih pentas pada hajatan, namun karena permintaan keluarga dia tidak bisa menolak. Secara pribadi, Suhendro lebih menyukai pentas pada acara bersih desa, atau lebih ke acara untuk masyarakat umum lainnya. Tak hanya itu, dia juga menyelipkan pesan sosial kemasyarakatan dan kepemimpinan, sesuai dengan background pendidikannya. “Kalau untuk hajatan pribadi, dalang yang lebih bagus banyak. Saya juga tidak mau terpecah antara pekerjaan sebagai PNS. Kalau bersih desa lebih longgar, dan tidak enak seandainya sering menolak,” terang Suhendro.
Saat ini, dengan kesibukan sebagai pejabat di Kabupaten Blitar, jika memang harus pentas, dia akan meminta dalang dobel. Biasanya dua minggu sebelumnya, dia sudah memberikan pengertian kepada yang memiliki hajat harus menggunakan dalang dobel, dan hal itu untuk berjaga-jaga. Pernah ada pengalaman di Desa Ngeni, Kecamatan Wonotirto, sekitar pukul 02.00, aksinya harus terputus dan digantikan dalang lokal lainnya. Sebab, saat itu pagi harinya ada acara di pendapa. “Maka dari itu harus ada cadangannya, biar tidak membuat kecewa,” ucapnya.
Sebenarnya, secara tidak langsung menjadi dalang bisa membuat dirinya belajar untuk mbeneh atau menghargai orang lain seperti dia menghargai diri sendiri, dan lebih bersyukur seandainya bisa ditularkan ke orang lain. Sebab dalam dunia pewayangan banyak ditemukan ilmu baru. Untuk mendekatkan diri dalam dunia wayang, selain pementasan, bersama seniman lainnya dia juga belajar di sanggar yang berada di lantai dua rumahnya. Saat ini dia juga masih berguru pada Bambang Tri Bawono, dalang asal Kelurahan Kalipang, Kecamatan Sutojayan. “Kadang kalau kepingin banget, main wayang sendiri di sanggar,” jelasnya.
Untuk penularan kesenian wayang kulit, saat ini tak sedikit anak sekolah yang belajar di sanggarnya. Ada sekitar 20 anak yang belajar di sini. Selain itu juga orang dewasa berjumlah 30. Apalagi warga sekitar juga memberikan dukungan yang positif, mereka malah suka jika ada latihan wayang di sanggarnya, dan tidak merasa terganggu dengan suara gamelan. Bagi Suhendro, dalang bisa dibilang sebagai pekerjaannya, sedangkan PNS adalah hobinya. Sebab, pada usia 56 tahun dia akan pensiun dan jabatan bisa ganti-ganti, sedangkan dalang selamanya tetap dalang. “Paling yang berubah hanya panggilan mas dalang, mbah dalang sampai tua,” ujar sambil tertawa. (*/cam)
Sumber : Radar Blitar, 8 April 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar