KH Hasbulloh,
dan KH Dimyati, merupakan kiai berpengaruh dari Desa Ploso, Kecamatan Selopuro.
Kini sepeninggal kiai, yang merupakan ayah dan anak, makam keduanya di Dusun
Kasim, Desa Ploso, menjadi jujugan para peziarah dari berbagai kota. Untuk
mengenang jasa-jasa beliau digelar dzikir akbar Majelis Dzikir Kanzul Jannah
“Jumpa Sehat” pada Kamis Legi malam Jumat Pahing. KH Hasbulloh,
dikenal sebagai Kiai Nalindra, yakni seorang ksatria merangkap kiai dan pejabat,
yakni pernah menjabat legislatif dan Kepala Desa Ploso. Nama kecil KH
Hasbulloh, adalah Irdali dan berganti Roihuddin, setelah mondok. Ketika naik
haji namanya ditambah menjadi KH Hasbulloh. Konon beliau adalah keturunan Sunan
Geseng, dan lahir di Kali Watubumi, Bedug Butuh, Begelen, Purworejo, Jawa
Tengah.
Semasa hidup
beliau menikah dua kali. Dalam pernikahan pertama dengan Nyai Siyam, dikaruniai
seorang anak, Nyai Saroh. Setelah cerai, menikah lagi dengan Nyai Maryam, dan pernikahan
kedua ini, KH Hasbulloh, dikaruniai tujuh anak, yakni H Sofwan, Nyai
Munawwaroh, Wuryan, KH Dimyati, Nyai Rohbiah, Hj Ruqoyyah, dan Gus Kafi. Dengan
bantuan KH Abdul Ghaffar, Gading Selopuro, Roihuddin menerima tanah hibah dari
KH Syamsudin, Gading di Dusun Baran, Desa Ploso dan menjadi cikal bakal Pondok
Baran. Beberapa santrinya antara lain, KH Kolil, KH Sodhiq Damanhuri, KH
Ridwan, KH Abbas Toegoeng, KH Mawardi, KH Syamsudin, KH Samsuri, dan KH Bakri.
Sementara
itu, KH Dimyati selama hidupnya dikenal sebagai kiai yang memiliki karomah yang
tinggi. Tak hanya itu, KH Dimyati adalah kiai yang sangat dermawan dan pandai
merahasiakan sedekah. Serta tidak pernah membuat repot, apalagi menyakiti
orang. Dengan kelebihan-kelebihan tersebut, KH Dimyati mendapatkan sebutan
sebagai Kiai Pendito. Tak hanya itu, beliau juga gigih dan berani menegakkan
kebenaran. KH Dimyati,
sendiri lahir di Dusun Baran, Desa Ploso, pada 1921 dan wafat pada 1989, dalam
usia 68 tahun. Sejak kecil, memang KH Dimyati dikenal pendiam dan suka
menyendiri. Beliau menikah pertama dengan Nyai Rufiah Mondo, dan dikaruniai
seorang anak, yakni Mahfud. Setelah cerai, KH Dimyati menikahi Nyai Muawanah
dan dikaruniai empat anak, yakni Lailatul Badriyah, Ngatiqullah, Umi Mukarommah,
dan Barroh. Semua anaknya telah wafat mendahului Mbah Dim, selain Hj Umi
Mukarommah.
Eyang KH. Dimyati juga ada yang berada di desa Bedali, Purwokerto, Srengat, Blitar. Namanya adalah MBAH EKOMEDJO (Lurah pertama desa Purwokerto). Semasa remaja, KH. Dimyati sering berziarah di MAKAM AULIYA MBREBESMILI SANTREN Bedali, Purwokerto, Srengat, Blitar (Makam Sayyid Bukhori Mukmin [Eyang Ponco), Makam Mbah Kyai Kasan Mujahid, Makam Mbah Kyai Asrori, Makam Sayyid Abdullah, dan makam Kyai Kembang Arum, dll. Makam tersebut termasuk makam Eyang KH. Dimyathi dari garis MBAH EKOMEDJO
BalasHapusBeliau (Mbah Dim) ketika masih mondok di PP. Lirboyo pernah menemukan granat sisa-sisa peperangan jaman penjajahan Belanda di sekitar pondok, dengan rasa penasaran granat tersebut dibawa pulang ke pondok untuk diotak-atik di dalam kamar, tak disangka tiba-tiba granat tersebut meledak hebat hingga kamar hunian Mbah Dim hancur berkeping-keping, tapi anehnya Mbah Dim tidak mengalami luka sedikitpun, semua santri Lirboyo terkagum-kagum melihat peristiwa itu.
BalasHapusSubhanallah... inilah karamah Mbah Dim yang sudah tampak semenjak masih jadi santri.
Beliau (Mbah Dim) ketika masih mondok di PP. Lirboyo pernah menemukan granat sisa-sisa peperangan jaman penjajahan Belanda di sekitar pondok, dengan rasa penasaran granat tersebut dibawa pulang ke pondok untuk diotak-atik di dalam kamar, tak disangka tiba-tiba granat tersebut meledak hebat hingga kamar hunian Mbah Dim hancur berkeping-keping, tapi anehnya Mbah Dim tidak mengalami luka sedikitpun, semua santri Lirboyo terkagum-kagum melihat peristiwa itu.
BalasHapusSubhanallah... inilah karamah Mbah Dim yang sudah tampak semenjak masih jadi santri.
Mbah kenapa makamnya di kasim,, sedangkan pesantrenya ada di baran
BalasHapus