Eyang Djoego pendiri Desa Jugo
Tahun ini, Haul Eyang Djoego ke 142 di Desa Jugo, Kecamatan Kesamben, berlangsung mulai Jumat (12/10) hingga Minggu (14/10). Salah satu agenda haul adalah kirab pusaka Eyang Djoego menyusuri jalan desa sekitar dua kilometer, mulai dari Makam Eyang Tundonegoro dan Eyang Dawoed, menuju Pesarehan Eyang Djoego. Setelah tiba di Pesarehan Eyang Djoego, pusaka segera dimasukkan ke tempat semula dan para sesepuh mendoakan para leluhur. Sementara itu, masyarakat berebut tumpengan dan air yang dipercaya membawa berkah. Tahun ini, sebanyak 15 pusaka yang terdiri dari capil, tongkat, payung, tombak, keris, dan pedang yang dikirab.
Eyang Djoego sendiri merupakan prajurit Pangeran Diponegoro yang
melarikan diri ke wilayah timur. Menurut sejarah, Eyang Djoego memiliki
nama asli Eyang Zakaria II. Nama Eyang Djoego sendiri digunakan dalam
rangka menyamarkan diri agar tidak diketahui Pemerintah Kolonial
Belanda, pada saat meletusnya perang Diponegoro, pada tahun 1825 hingga
1830 silam. Makam Eyang Djoego sendiri berada di Gunung Kawi, yang biasa
diperingati masyarakat setempat dengan napak tilas pada 1 Suro.
Rangkaian haul sejak Jumat (12/10) antara lain kataman Quran, tahlil bersama di Masjid Agung Baiturrohim Eyang Djoego, Sabtu (13/10) kirab pusaka, pengajian akbar, pagelaran wayang kulit, dan puncaknya Minggu (14/10) dengan penyekaran agung dan tahlil akbar di Pendopo Eyang Djoego, dan ditutup wayang kulit. Puncak peringatan Haul Eyang Djoego dilaksanakan setiap Minggu Legi malam Senin Pahing, bulan Selo dalam hitungan Jawa. Tujuannya untuk melestarikan budaya peninggalan Eyang Djoego mendirikan Desa Jugo pada tahun 1836.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar