Senin, 31 Oktober 2011

Sumpah Pemuda, Lomba Layangan



 BLITAR – Hari Sumpah Pemuda (28/10) lalu diperingati masyarakat dengan berbagai cara. Salah satunya dilakukan karang taruna Kelurahan Bence, Kecamatan Garum. Sejak Sabtu (29/10), para pemuda di kelurahan ini menggelar lomba layang-layang.

Jumat, 28 Oktober 2011

Kuda Lumping

Pagelaran seni kuda lumping di kawasan PIPP Kota Blitar
oleh Turonggo Yudho Putro dari Sentul, Kepanjenkidul.

Kuda lumping juga disebut jaran kepang atau jathilan adalah tarian tradisional Jawa menampilkan sekelompok prajurit tengah menunggang kuda. Tarian ini menggunakan kuda yang terbuat dari bambu yang di anyam dan dipotong menyerupai bentuk kuda. Anyaman kuda ini dihias dengan cat dan kain beraneka warna. Tarian kuda lumping biasanya hanya menampilkan adegan prajurit berkuda, akan tetapi beberapa penampilan kuda lumping juga menyuguhkan atraksi kesurupan, kekebalan, dan kekuatan magis, seperti atraksi memakan beling dan kekebalan tubuh terhadap deraan pecut. Jaran Kepang merupakan bagian dari pagelaran tari reog. Meskipun tarian ini berasal dari Jawa, Indonesia, tarian ini juga diwariskan oleh kaum Jawa yang menetap di Sumatera Utara dan di beberapa daerah di luar Indonesia seperti di Malaysia.

Rabu, 26 Oktober 2011

Kesamben di Siang Hari


Melihat suasana pegunungan selatan Kabupaten Blitar dari halaman depan SMAN 1 Kesamben, Rabu (26/10) sekitar pukul 10.30. Musim kemarau berkepanjangan ini, hamparan hijau pohon-pohon yang tumbuh di pegunungan selatan itu belum tampak. Pohon jati yang menjadi mayoritas tanaman di hutan produksi saat ini masih meranggas, sehingga yang tampak adalah pegunungan kecoklat-coklat. Beruntung, beberapa hari ini di wilayah Blitar Raya sudah diguyur hujan lebat. Akhirnya sekitar pukul 13.00, hujan lebat kembali mengguyur wilayah Blitar Raya. Semoga saudara kita yang mengalami kesulitan mendapatkan air bersih segera normal kembali, sehingga tidak perlu lagi mengantri desak-desakan untuk mendapatkan air bersih. (yanu aribowo)

Senin, 24 Oktober 2011

Tari Dayak ala Salamrejo




BLITAR – Memperingati hari jadi ke-139, Desa Salamrejo, Kecamatan Binangun, Kabupaten Blitar, menggelar pawai seni Tari Dayak. Yakni, seni tari asli dari desa itu sendiri. Keunikan dari tarian ini, peserta mengenakan pakaian nyleneh, seperti raksasa.

Tahun ini merupakan pagelaran seni tari Dayak yang keempat kalinya. Menurut Kepala Desa S. Samidjianto, seni tari ini merupakan peninggalan nenek moyang desa, dimana dulu yang membuka lahan desa dari hutan belantara sekitar tahun 1872. Nah, nenek moyang yang mulai menetap di wilayah yang saat ini diberi nama Salamrejo itu, mereka memiliki kesenian tari tersebut. “Sebagai generasi penerus, sudah selayaknya kami menghidupkan kesenian dari nenek moyang,” jelas Kades Salamrejo, S. Samidjianto.

Lanjut pria 52 tahun ini, setelah lama hampir menghilang, empat tahun terakhir pihak desa dengan dukungan penuh masyarakat, menghidupkan kembali kesenian nenek moyang itu. Dalam tarian itu, ratusan peserta dengan kostum yang nyleneh seperti raksasa dengan berbagai model, berupa rumbai-rumbai, membawa pedang, pentungan, berambut gimbal, dan rata-rata tubuh peserta dipoles warna hitam yang menambah seram penampilan mereka. Di antara ratusan para peserta itu, ada beberapa yang mengenakan kostum raja lengkap dengan mahkotanya.

Diceritakan kepala desa, seni tari Dayak ini memang menggambarkan kisah sang raja yang melintasi ratusan prajuritnya. Pada masa lalu, jika sang raja melintas di depan prajurit, mereka harus memberikan hormat dengan cara sujud memberi hormat. Jika tidak, tentu para prajurit itu akan mendapatkan amarah dari sang raja. Gambaran itu juga terlihat kemarin, saat peserta pawai hari jadi itu berhenti di salah satu lapangan di Desa Salamrejo. Sang raja yang marah memberikan hukuman kepada prajuritnya (peserta lain,Red) yang tetap berdiri dan bersorak, ketika sang raja melintas. Peserta yang memerankan raja langsung mengayunkan petungan yang dipanggulnya ke arah prajurit hingga para prajurit itu berjongkok memberi hormat.

Dalam pawai yang menelusuri jalan Desa Salamrejo dan Desa Sumberkembar (23/10), itu juga diikuti oleh rombongan tari Madura, potensi desa setempat, dan anak-anak sekolah. Dalam pawai itu melibatkan sekitar 1000 peserta. (ynu/ris)

sumber : Radar Blitar










Jumat, 21 Oktober 2011

Akhirnya Mbah Sadar Juga

sebelum sadar


sesudah sadar

Hahahaha,.,.akhirnya setelah beberapa hari menjadi bahan perbincangan,.Mbah Google sadar jika ada yang salah dalam layanan terjemahan dalam situs pencariannya. Jika Rabu (19/10) dalam layanan terjemahan Google arti bahasa Inggris dari Didi Kempot masih Michael Jackson, sejak Kamis (20/10) sudah berubah menjadi arti yang sebenarnya. Sekarang arti bahasa Inggris dari Didi Kempot ya tetap Didi Kempot. Tapi setidaknya sudah banyak yang menyaksikan jika seniman asal Indonesia itu sudah selayaknya disejajarkan dengan Michael Jackson karena karya-karyanya yang dikenal banyak orang.

Memang sejak dirubah ke dalam terjemahan aslinya banyak orang yang tidak percaya karena tidak bisa secara langsung melihat hal lucu yang terjadi beberapa hari terakhir. Barusan ada teman yang bilang jika Ternyata Didi Kempot adalah Michael Jackson merupakan hal bohong. Tapi bukan itu jawabannya, sodara kita hanya kurang beruntung karena belom bisa menyaksikan hal lucu itu. Tapi setidaknya masih ada yang tersisa dari hal lucu yang terjadi pada layanan terjemahan itu.

Dengan kejadian itu, semoga layanan terjemahan bisa memberikan arti yang sebenarnya. hahahaha,.

Rabu, 19 Oktober 2011

Ternyata Didi Kempot adalah Michael Jackson


Layanan terjemahan dari situs pecarian terbesar Google, cukup mengagetkan banyak pihak. Penyanyi Didi Kempot diterjemahkan google sebagai Michael Jackson. Bermula dari status Dedy Kurniawan yang berbunyi 'COBA ANDA KETIK kalimat "didi kempot" menggunakan Google Translate (terjemahan) dari bahasa Indonesia ke Bahasa Inggris. coba liat hasil terjemahannya.... sungguh mengagetkan.. :D hahahaha.......

Setelah ditelusuri, ternyata benar adanya. Didi Kempot diterjemahkan Michael Jackson. Memang sebuha kehormatan bagi seniman Indonesia, tapi juga peringatan bagi pengguna mesin terjemahan Google. Agar berhati-hati dalam menterjemahkan bahasa Indonesia ke bahasa Inggris. Kalau tak percaya, silahkan mencoba.

sumber : bangyuki.com

Minggu, 16 Oktober 2011

Gelar Tiban Minta Hujan

LESTARIKAN BUDAYA: Dua orang saling cambuk dalam pergelaran Tiban di Kanigoro kemarin.


BLITAR – Sudah tiga bulan wilayah Blitar tak diguyur air hujan. Warga setempat memiliki tradisi ritual kesenian Tiban untuk mendatangkan hujan.  Seperti yang dilakukan masyarakat Dusun Sumberagung, Desa Banggle, Kecamatan Kanigoro. Selama dua hari ini warga menggelar ritual Tiban, dengan mengundang ratusan warga dari berbagai daerah. Di antaranya Blitar sendiri, Kediri, dan Tulungagung. Informasi dari panitia Tiban, sedikitnya 300 lembar undangan telah disebar untuk memeriahkan acara yang digelar hampir tiap tahun ini. Biasanya ritual Tiban dilaksanakan jika musim kemarau terlalu panjang. “Acara Tiban ini akan kami selenggarakan hingga Minggu (30/10) mendatang,” ujar Miskam, 41,ketua panitia ritual Tiban.

Ritual Tiban sendiri dilaksanakan oleh pria satu lawan satu dengan umur yang  sebaya, atau paling tidak postur tubuh seimbang. Sebab dalam adu cambuk itu kekuatan masing-masing pihak harus seimbang. Tak hanya itu, dalam tarung cambuk itu, ada aturan yang tidak boleh dilanggar. Setiap menyabetkan cambuk, tidak boleh menyasar alat vital atau wajah. 
Sedangkan cambuk sendiri terbuat dari lidi aren yang dipintal sedemikian rupa hingga membentuk sebuah cambuk. Dan cambuknya sendiri disediakan oleh panitia. Hal itu juga dilakukan untuk menghindari kecurangan antar peserta yang menyelipkan benda tajam di ujung cambuknya. Dalam pelaksanaannya, ritual Tiban sendiri sangat menarik minat masyarakat. Tidak hanya para pemuda, orang tua dan anak-anak banyak juga yang tertarik mengikuti ritual adu ketangkasan itu. Setelah terjadi kesepakatan di atas panggung, dua peserta langsung bertanding. Usai acara Tiban, antara dua peserta tidak boleh ada rasa dendam. Semua itu dilaksanakan untuk melestarikan kesenian daerah yang mulai ditinggalkan.
Untuk memeriahkan acara, Tiban diiringi irama gamelan yang terdiri dari kenong, gendang, dan gong. Gamelan sederhana itu diharapkan bisa memberikan semangat kepada para pemain yang sedang naik panggung. Semakin kencang memukul, biasa permainan di atas panggung semakin sengit dalam mencabuk serta tangkisan. (ynu/cam)

(sumber: Radar Blitar)



Sabtu, 15 Oktober 2011

Tari Barong Rampog Khas Blitar Tembus Tarian Dunia


TARI DUNIA: Penampilan tari Barong Rampog saat ikut meramaikan dalam Purnama Seruling Penataran


Terinspirasi Tradisi Upacara Penyiksaan Harimau

Tarian khas Blitar, Tari Barong Rampog mampu menembus ketatnya kompetisi tingkat dunia. Tari ini mampu berbicara di Cheonan World Dance Festival 2011, Korea Selatan. Sosok kreatif di balik tarian khas Blitar itu adalah Kholam Siharta. Apa yang menginspirasinya? Berikut laporannya.

Yanu Aribowo, Blitar

Terpilih sebagai juara di ajang Cheonan World Dance Festival 2011 tak pernah dilupakan Kholam Siharta.  Bagi pemuda 27 tahun asal Kelurahan Beru, Kecamatan Wlingi, prestasi yang diperoleh bersama rekan seniman lainnya merupakan pengalaman berharga. Prestasi tersebut menjadi pembakar semangat bagi Kholam untuk terus berkarya.

Prestasi tingkat internasional itu sendiri sangat tidak diduga-duga. Apalagi dalam even tahunan di Kota Cheonan, baru kali pertama tampil. Dia mengaku, sengaja menciptakan tari Barong Rampog dikarenakan adanya Cheonan World Dance Festival 2011. Dalam waktu dua minggu, dia memutar otak untuk menciptakan jenis tarian yang bisa dibawa untuk mewakili Indonesia di tingkat internasional. Hingga akhirnya berhasil meraih juara keempat, bersama anggota kontingen Indonesia lainnya yang berasal dari Ponorogo dan Jakarta.

Kepada Radar Blitar, Kholam sendiri mengaku tarian hasil karyanya itu terinspirasi oleh tarian barong jaranan yang banyak dimainkan masyarakat Blitar. Selain itu juga tradisi Rampokan Macan yang pernah ada di wilayah Blitar pada abad 19 silam. Dan, upacara pembunuhan terhadap seekor macan biasanya dilaksanakan di Alun-alun itu. Tradisi itu akhirnya dilarang oleh Pemerintah Kolonial Belanda pada 1905 silam. Nah, dari dua alur budaya itulah Kholam akhirnya terinspirasi untuk menggambarkan bagaimana perasaan sang macan, saat disiksa oleh manusia-manusia yang menghunuskan tombak ke arah tubuhnya hingga tewas tergeletak. “Akhirnya terciptalah Barong Rampog itu,” ujar Kholam.

Melalui tarian itu, Kholam berusaha menyampaikan pesan perjalanan hidup semua makhluk, baik manusia, hewan, dan tumbuhan, yang digambarkan melalui sosok macan. Yakni penggambaran mulai kelahiran, pertumbuhan mengenal lingkungan sekitar, godaan yang berupa para perempuan yang memaksa macan untuk membuat pilihan. Jika ia menyerahkan, tentu akan menjadi keburukan. Dan jika mampu bertahan tentu akan berbuah kebaikan. Maka dari itu, para proses ujian godaan itu merupakan penentuan masa depan makhluk itu kelak akan menjadi apa. Dalam tarian itu digambarkan apapun pilihan sang macan, kelak akan menjadi sesuatu yang besar, yang digambarkan melalui dadak merak, kesenian asal Ponorogo. “Jadi tergantung pilihan yang diambil pada fase godaan tadi. Sesuatu yang besar (dadak merak, Red) bisa dimaknai keburukan atau kebaikan. Tergantung manusia yang menjalaninya,” ucap penggemar vespa ini.

Lanjutnya, barong dalam hasilnya karyanya juga tidak lazim. Jika pada umumnya menggunakan kulit kambing yang sudah dikeringkan untuk menghiasi leher barong, dalam Barong Rampog, para barong itu mempunyai hiasan leher yang berupa puluhan batang lidi. Bentuk itu merupakan penggambaran dari tombak dari matador Jawa yang menghunus ke tubuh macan yang menjadi objek dalam tradisi Rampokan Macan. Meski tradisi itu menginspirasi karya, tidak lantas membuat Kholam setuju jika tradisi lama itu dihidupkan kembali. Alasannya, tak lain adalah populasi macan sendiri yang merupakan hewan yang dilindungi untuk menghindari kepunahan.

Dia sendiri, lebih memilih Rampokan Macan dihidupkan kembali dalam bentuk yang dimodifikasi, salah satunya melalui tarian. Nah, dari karya itu juga diambil makna bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini pasti ada hikmahnya. Dari bencana dan musibah yang melanda bangsa Indonesia belakangan ini, masyarakat bisa mengambil hikmah dan manfaatnya. Dia mengambil contoh, penebangan hutan secara liar bisa menyebabkan banjir karena daya serap hutan menjadi berkurang. “Nah, musibah itu sudah memberikan pelajaran bagi manusia agar bisa hidup berdampingan dengan alam,” tukas pria berkuncir panjang ini.

(sumber: Radar Blitar)


Kamis, 13 Oktober 2011

Reog Bulkio @Festival Penataran 2011


Alhamdulillah setelah hampir setahun menunggu, akhirnya bisa menyaksikan kesenian Reog Bulkio secara langsung. Suatu kebanggaan bisa melihat peninggalan pelarian tujuh prajurit Pangeran Diponegoro asal Bojonegoro sekitar tahun 1825 ke Kabupaten Blitar. Kini kesenian asli Desa Kemloko, Kecamatan Nglegok itu dikomandani generasi ketiga Mustar, prajurit Pangeran Diponegoro, Supangi, 79 tahun. Diadopsi cerita perang dari Surat An Biya, dalam Alquran, yang mengisahkan peperangan kebaikan melawan keburukan, yang bisa diartikan perang antara umat Islam dengan kaum kafir. Penggambaran itu bisa dilihat dari panji putih, yang digunakan untuk memisahkan dua prajurit yang mempertunjukkan tarian perang dalam peragaan terakhir dari penampilan Reog Bulkio. Dalam panji itu tergambar, dua tokoh pewayangan yang menggambarkan dua pribadi yang bertolak belakang. Yaitu perang antara Anoman, yang menggambarkan Islam sebagai nilai kebaikan dengan Dosomuko, yang menggambarkan kekafiran. Dari kisah peperangan dalam Alquran itulah nama Bulkio diambil.

Hingga kini, tarian perang dalam Reog Bulkio masih mengikuti pakem dari asalnya. Semua pemain yang merupakan pria itu, terbagi menjadi tiga bagian, yakni penari, pemukul alat musik, dan dalang. Mereka berjumlah 14 orang, yang terdiri sembilan penari, empat pemukul alat musik dan satu orang dalang yang menceritakan kisah peperangan antara Islam dan kaum kafir. Sedangkan gerakan tarian sejak dulu memiliki empat jenis, mulai lincak gagak, rubuh-rubuh gedang, untir-untir, dan perang. Namun, dalam penampilan Rabu (12/10) penari yang biasanya pria diperankan enam penari perempuan, yang merupakan mahasiswi sebuah perguruan tinggi di Malang yang ingin mengetahui lebih dalam kesenian asli Blitar ini.

Hingga kini, ciri khas warna merah putih. Enam penari yang memukul yang ikut memainkan alat musik terbang, mengenakan celana hitam, dengan lilitan sarung warna merah putih, serta kemeja putih yang dihiasi selempang, dan kepala menggunakan udeng jenis gilik bawang sebungkul. Hiasan udeng ini juga menggunakan warna merah putih. Sedangkan tiga penari yang memainkan peperangan serta pembawa panji pemisah peperangan, juga mengenakan pakaian dengan warna dominasi merah putih. Mereka tampil dengan celana merah, kombinasi kemeja putih, serta jas hitam, yang dipertegas dengan sebilah pedang untuk masing-masing penari. Kedua penari itu memainkan tari peperangan dengan seorang penari yang bertugas menjadi penengah dengan tanda panji putih bergambar Anoman dan Dosomuko. Sementara, empat pemain pemukul alat musik, mengenakan kemeja putih kombinasi celana hitam dengan hiasan jarit melilit di pinggangnya.








Rabu, 12 Oktober 2011

Air Terjun Ondo Rante


Lereng Gunung Kelud banyak menyimpan keindahan alam. Salah satunya adalah air terjun Ondo Rante. Air terjun itu ditemukan oleh warga sekitar beberapa waktu lalu, dan saat ini belum dikelola secara maksimal. Menurut warga air terjun itu masuk ke dalam wilayah Desa Sumberasri, Kecamatan Nglegok. Dari perkampungan terakhir di lereng gunung perjalanan menuju air terjun itu sejauh sekitar 7 km. Pembukaan akses menuju air terjun itu seiring dengan pembukaan akses jalur rintisan menuju puncak Gunung Kelud. Mengunakan sepeda motor, lokasi air terjun ditempuh sekitar 45 menit dari kampung terakhir, karena kondisi medan yang berat, tanjakan dan turunan.

Lokasinya sendiri searah dengan jalur rintisan menuju puncak Gunung Kelud. Namun pada radius sekitar 3 km dari puncak jalur rintisan itu akan bercabang, ke kanan menuju air terjun dan ke kiri menuju puncak. Dari pertigaan itu, perjalanan menuju air terjun hanya sekitar 10 menit. Baru sepeda motor diparkirkan di tanah lapang, dan pengunjung bisa menuruni lereng perbukitan. Dan yang perlu diingat harus hati-hati.

Oleh warga sekitar, air terjun setinggi sekitar 30 m itu sering disebut Ondo Rante. Hal itu didasarkan adanya tangga di lereng gunung dan ada rantai di bagian pinggirnya, sehingga warga menyebutnya air terjun Ondo Rante. Meski belum dibuka secara resmi, saat ini pengunjung yang penasaran bisa melihat dari lereng seberang. Sedangkan untuk mencapai lokasi air terjun, pengunjung harus ekstra hati-hati. Turunan yang curam dan jalan yang terjal sepanjang perjalanan memaksa pengunjung harus waspada. Warga sendiri belum membuka 100 persen jalur rintisan menuju air terjun Ondo Rante itu. 

Selasa, 11 Oktober 2011

'Badai Pasir' Melanda Blitar




BLITAR - Puluhan mobil yang melintasi Desa Ngadirenggo, Kecamatan Wlingi siang tadi sekitar pukul 11.00, terjebak badai pasir. Peristiwa itu terjadi menjelang rombongan pejabat hendak mendekati sebuah peternakan sapi perah yang sangat besar pada ketinggian 900 mdpl di lereng Gunung Butak. Sebab rombongan yang terdiri dari puluhan mobil itu melintasi jalanan tanah yang sangat kering. Praktis begitu melintasi jalanan itu, debu-debu beterbangan dan menghalangi penglihatan kendaraan yang ada di belakang. Sekilas dari mobil yang berada paling belakang, rombongan mobil yang ada di depan tampak seperti memasuki badai pasir. Satu persatu mobil menghilang begitu memasuki pekatnya debu yang menghalangi pandangan mata.

Namun setelah melewati badai pasir itu, rasa lelah terbayar dengan pemandangan hamparan pohon pinus dan perkebunan teh di Perkebunan PTPN XII Bantaran bagian Sirahkencong pada ketinggian 1.075 mdpl. Meski terik matahari menyengat, udara dingin langsung menyambut begitu berada di dekat pepohonan yang rindang. Hahahaha,.sudah lama tidak merasakan kedinginan. Sayang karena ikut rombongan, jadi tidak bisa tinggal menikmati dinginnya malam Sirahkencong. Untuk saat ini, jalur menuju Sirahkencong melalui Desa Tegalasri dan Desa Ngadirenggo, Wlingi dan pulang melalui jalur perkebunan Kawisari dan Desa Semen, Gandusari masih memberikan sensasi pegal linu. Namun itulah yang menjadi tanda pengingat tidak menghilangnya kenangan dari Sirahkencong, meski telah menjejakkan kaki untuk kesekian kalinya. Mantab!!!!!

Memang kondisi jalan makadam yang terjal dengan efek pegal linu yang masing-masing jalur mencapai panjang 11 km dan hanya sebagian yang sudah diaspal,  tidak semua orang bisa menikmatinya. Maka dari itu agar keindahan alam itu bisa dinikmati semua orang, Pemkab Blitar berencana membangun akses menuju 'mutiara hijau' yang tersembunyi di ujung utara Kecamatan Wlingi. Ayooo pak kami tunggu realisasi janjimu,.



Minggu, 09 Oktober 2011

Candi Simping


Berada di Desa Sumberjati, Kecamatan Kademangan. informasi dari penjaga candi, bangunan candi yang berada di pinggir jalan desa yang menghubungkan wilayah Sumberjati dengan wilayah Wonotirto itu merupakan bangunan yang digunakan untuk menyimpan abu, atau pemakaman raja Majapahit Raden Wijaya pada tahun 1231 Saka. Saat ini kondisi candi sendiri hanya berupa reruntuhan, namun dari sisa-sisa reruntuhan itu bisa digambarkan jika candi itu memiliki dimensi lebih besar dari candi yang ada di kawasan penataran. Candi Simping berukuran panjang lebar 8 x 11 meter, dengan tinggi sekitar 16 meter. Jika dibandingkan dengan Candi Penataran yang berukuran 3,5 x 3,5 meter, dengan tinggi sekitar 12 meter, ukuran candi ini lebih besar.

Untuk menuju lokasi candi tidaklah sulit, yakni dari Kota Blitar ke arah selatan sekitar 10 kilometer. Begitu melintasi jembatan Sungai Brantas, yang menghubungkan Desa Tuliskriyo, Kecamatan Sanankulo, dengan Kelurahan/ Kecamatan Kademangan, pengunjung dari luar kota bisa mengambil tikungan ke kiri (jika ke kanan arah Tulungagung) dan mengikuti jalur utama Jalan Trisula. Dari jembatan hanya berjarak sekitar empat kilometer hingga ada pertigaan kemudian belok kiri (timur), dan sekitar 500 meter candi yang berada di sisi utara jalan itu bisa dilihat. Pertigaan berada di sisi selatan sebuah SPBU di sisi barat jalan.

Memang di Blitar sendiri candi ini kurang mendapatkan perhatian dan jarang dijadikan jujuga wisata oleh masyarakat umum. Sebab di kawasan candi memang tidak ada fasilitas pendukung untuk pariwisata selain pagar pembatas dan pos penjagaan. Dengan cerita yang dikandungnya, tentu daya tarik Candi Simping tidak akan kalah dengan Candi Penataran yang saat ini telah dikembangkan potensi pariwisatanya. "Setiap hari hanya sekitar 10 orang yang datang ke sini," ujar Edi Suworo, 51, penjaga candi.

Tambahan yang sangat menarik tentang Candi Simping karena ilmunya lebih mantab,.,.selamat menikmati.









Sabtu, 08 Oktober 2011

Mengunjungi Bayi Jumbo 5,6 Kilogram Asal Rejowinangun, Kademangan


Belum Diberi Nama, Sementara Dipanggil Tole Jumbo

Imroatul Khanifa, 38, melahirkan bayi super jumbo. Bagaimana tidak, berat badan bayinya mencapai 5,6 kilogram melalui proses persalinan caesar. Kelahiran bayi ini mencuri perhatian warga Desa Rejowinangun, Kecamatan Kademangan. Berikut laporannya.

Yanu Aribowo, Blitar

Kelahiran anak kelima bagi pasangan Muhroji, 45, dan Imroatul Khanifah, 38, membawa berkah dan kejutan. Bayinya dilahirkan pada Kamis (29/9) sekitar pukul 18.00 itu berat badan tidak lazimnya bayi alias langka. Sebab, berat badannya mencapai 5,6 kilogram. 

Kelahiran bayi montok dengan panjang 52 sentimeter itu tentu mengejutkan orang tua dan keluarga yang saat itu tengah menunggui proses persalinan di RS Eramedika, Ngunut, Tulungagung. Sebab, kelahiran bayi dengan berat badan di atas rata-rata itu atau istilah medisnya makrosomia sangat jarang terjadi. Saat ini bayi yang masih berumur delapan hari itu tampak seperti bayi usia tiga bulan.

Setelah mendapatkan perawatan di rumah sakit, sejak Minggu (2/10) lalu bayi yang belum diberi nama itu dirawat di rumah neneknya, Siti Rokhana, 59, di Desa Rejowinangun. Sebelum mendapatkan nama resmi, bayi itu sering kali dipanggil tole jumbo atau anak laki-laki yang besar. Bayi montok itu sengaja dibawa pulang ke rumah neneknya, agar mendapat perhatian dan perawatan yang maksimal, jika pasutri yang telah dikaruniai lima anak itu mengalami kendala. Praktis sejak mendapatkan perawatan di rumah Siti, masyarakat sekitar dan kerabat satu per satu datang silih berganti untuk ikut jagong bayi. Banyak yang merasa heran dengan kelahiran bayi montok itu. Sebab empat anak Imroatul kelahirannya normal dengan berat badan antara 3,5 kilogram hingga 3,8 kilogram, dan empat anak itu lahir dengan proses normal.

Namun khusus anak bungsunya itu, proses kelahirannya harus melalui operasi caesar. Sebab dengan kondisi berat badan di atas rata-rata, seorang perempuan akan sulit melahirkan seorang bayi jumbo dengan kelahiran normal, apalagi untuk ukuran orang Asia. Selain itu, pada proses persalinan awalnya kehadiran bayi jumbo itu dikira anak kembar. Sebab dengan kondisi perut ibu yang sangat besar, bidan setempat di Rejotangan, tempat pasutri itu selama ini tinggal menyarankan persalinan dilakukan di rumah sakit dengan operasi. “Katanya kembar, kok malah jumbo,” ujar Siti, nenek bayi itu.

Awalnya bidan yang memeriksa kandungan bayi menduga jika Imroatul akan mendapatkan bayi kembar. Selain itu pada saat proses persalinan, Imroatul juga membutuhkan waktu yang lama, sehingga akhirnya diputuskan untuk operasi caesar. Sebab selama ini, kondisi kandungan memang lebih besar jika dibandingkan dengan kandungan empat orang kakaknya. Bahkan pada saat kehamilan, berat badan sang ibu mencapai 117 kilogram. Padahal pada empat kehamilan sebelumnya berat badan sang ibu tak pernah mencapai berat 90 kilogram.

Sementara itu, dari ilmu kedokteran, kelahiran bayi dengan berat di atas rata-rata itu diistilahkan makrosomia. Proses kelahiran bayi masuk kategori makrosomia jika berat badan bayi di atas empat kilogram. Untuk wilayah Blitar Raya sendiri, kelahiran bayi dengan berat badan 5,6 kilogram pernah terjadi sekitar setahun yang lalu di wilayah Kota Blitar. Nah, dengan kondisi itu pihak dokter menyarankan, agar bayi itu harus mendapatkan perhatian yang serius. Pihak keluarga harus rutin mengecek kondisi kesehatan untuk menghindari kekhawatiran karena kekurangan kadar gula atau hipoglikemi.

Menurut dokter kandungan, kelahiran bayi dengan berat badan di atas empat kilogram merupakan bayi di atas normal. Penyebabnya sendiri terdapat tiga faktor, yakni faktor keturunan, sang ibu mengidap diabetes, atau kehamilan yang telah melewati waktu kelahiran atau di atas 42 minggu kehamilan. Dan frekuensi proses kelahiran dengan berat empat kilogram ada 5,3 persen. Sedangkan untuk berat di atas lima kilogram sangat jarang sekali, atau pada kisaran 0,3 persen. Dan dengan berat bayi di atas lima kilogram sebanyak 70 persen harus melalui operasi caesar.  “Dan kelahiran seperti itu sangat jarang terjadi di wilayah Indonesia,” jelas dr Djamil Suherman, SpOG

Sedangkan saran dari dokter anak, si bayi jumbo itu harus mendapatkan asupan air susu ibu (ASI) yang lebih banyak dibandingkan bayi dengan berat normal. Dan yang terpenting, bayi harus diperiksa gula darahnya karena berat badannya melebihi ukuran lahir normal. Pada bayi dengan berat badan lahir di atas empat kilogram, jika mengalami hipoglikemi sering menyebabkan gangguan otak, energi kurang, oksigen kurang yang sering menyebabkan kematian mendadak. “Yang kita takutkan adalah kekurangan kadar gula atau disebut hipoglikemi. Maka dari itu bayi harus selalu diperiksakan kesehatannya,” jelas dr Sukardi SpA.

Sebab, usai proses kelahirannya, tole jumbo sempat menjalani perawatan medis di rumah sakit selama tiga hari, karena mengalami detak jantung yang lemah di bawah normal. Kini bayi itu dirawat di rumah sang nenek di Desa Rejowinangun. Pihak keluarga sendiri berencana memberikan nama untuk tole jumbo pada pekan ini, sambil menunggu pencarian nama dari bapaknya. (*)

dipangku sang nenek


Kamis, 06 Oktober 2011

Reog Bulkio

Sesepuh Reog Bulkio Supangi

Tak banyak yang tahu, jika pelarian prajurit Pangeran Diponegoro sekitar tahun 1825 ke Kabupaten Blitar kini meninggalkan kesenian daerah, yakni Reog Bulkio. Yang kini masih dilestarikan oleh generasi ketiga, Supangi, 78, warga RT 03/01Dusun/ Desa Kemloko, Kecamatan Nglegok.

Yanu Aribowo, Blitar

“Itu adalah kesenian asli Desa Kemloko yang sudah diwariskan secara turun temurun,” ungkap Supangi, saat pertama kali menjelaskan asal usul kesenian Reog Bulkio yang diakuinya tidak ada di daerah lain. Peralatan seperti gong, terompet, terbang, pecer (kepyek), umbul-umbul (panji), serta pedang, merupakan ciri khas dari kesenian yang mengadopsi cerita perang dari Surat An Biya, dalam Alquran. Yakni mengisahkan peperangan kebaikan melawan keburukan, yang bisa diartikan perang antara umat Islam dengan kaum kafir. Reog Bulkio sendiri mulai dihidupkan kembali sejak Agustus lalu, untuk lebih mewarnai kesenian dari Blitar.

Penggambaran itu bisa dilihat dari panji putih, yang digunakan untuk memisahkan dua prajurit yang mempertunjukkan tarian perang dalam peragaan terakhir dari penampilan Reog Bulkio. Dalam panji itu tergambar, dua tokoh pewayangan yang menggambarkan dua pribadi yang bertolak belakang. Yaitu perang antara Anoman, yang menggambarkan Islam sebagai nilai kebaikan dengan Dosomuko, yang menggambarkan kekafiran. “Dari kisah peperangan dalam Alquran itulah nama Bulkio diambil,” jelas kakek dua cucu ini.

Supangi menuturkan, dia sendiri merupakan keturunan ketiga dari Mustar, salah satu diantara tujuh prajurit Pangeran Diponegoro asal Bojonegoro yang melarikan ke Desa Kemloko, yang dulu masih berupa hutan belantara Penataran, usai pimpinan mereka tertangkap. Pada sekitar tahun 1825, ketujuh prajurit mulai menetap di desa tersebut, sembari menanti kabar kepastian Pangeran Diponegoro. Selain ke Blitar prajurit lainnya juga menyebarkan diberbagai daerah, antara lain, Madiun, Ponorogo, Trenggalek.  “Tujuh prajurit itu salah satunya adalah kakek saya, mereka berasal dari Bojonegoro,” kisahnya.

Tidak hanya itu, karena kabar tentang pimpinan mereka tidak kunjung tiba, mereka terus melakukan penantian di tempat pelarian tersebut. Nah, dalam masa penantian itulah muncul ide untuk tetap mempertahankan kemampuan mereka dalam berperang. Sebab dikhawatirkan karena tidak pernah dipergunakan dalam peperangan, hingga akhirnya tempaan latihan perang itu diwujudkan untuk menghibur diri sekaligus memotivasi kesetiaan mereka terhadap Pangeran Diponegoro. “Mulai saat itu Reog Bulkio, sudah dimainkan secara turun temurun,” terang suami Surami, 60, ini.

Hingga kini, tarian perang dalam Reog Bulkio masih mengikuti pakem dari asalnya. Semua pemain yang merupakan pria itu, terbagi menjadi tiga bagian, yakni penari, pemukul alat musik, dan dalang. Mereka berjumlah 14 orang, yang terdiri sembilan penari, empat pemukul alat musik dan satu orang dalang yang menceritakan kisah peperangan antara Islam dan kaum kafir. Sedangkan gerakan tarian sejak dulu memiliki empat jenis, mulai lincak gagak, rubuh-rubuh gedang, untir-untir, dan perang. “Semua itu dimainkan sekitar satu jam hingga selesai,” jelas pria yang berperan sebagai dalang dalam Reog Bulkio ini.

Dalam berpakaian, kelompok reog itu memiliki ciri khas warna merah putih. Enam penari yang memukul yang ikut memainkan alat musik terbang, mengenakan celana hitam, dengan lilitan sarung warna merah putih, serta kemeja putih yang dihiasi selempang, dan kepala menggunakan udeng jenis gilik bawang sebungkul. Hiasan udeng ini juga menggunakan warna merah putih. “Dua warna itu merupakan cirri khas sejak dulu, kami tidak pernah ngutak-atik warna itu,” ungkap

Sedangkan tiga penari yang memainkan peperangan serta pembawa panji pemisah peperangan, juga mengenakan pakaian dengan warna dominasi merah putih. Mereka tampil dengan celana merah, kombinasi kemeja putih, serta jas hitam, yang dipertegas dengan sebilah pedang untuk masing-masing penari. Kedua penari itu memainkan tari peperangan dengan seorang penari yang bertugas menjadi penengah dengan tanda panji putih bergambar Anoman dan Dosomuko. Sementara, empat pemain pemukul alat musik, mengenakan kemeja putih kombinasi celana hitam dengan hiasan jarit melilit di pinggangnya.

Kedepan, harapan untuk melestarikan kesenian asli Desa Kemloko itu masih terbuka lebar. Saat ini, Edi Suryanto, 41, anak satu-satunya Supangi juga mempunyai kepedulian terhadap Reog Bulkio. Dia malah berencana untuk mempopulerkan kesenian itu hingga ke luar pulau Jawa. Dalam waktu dekat mereka berencana tampil di Pekanbaru, tempat Edi bekerja saat ini. Tidak hanya itu, Vego, 5, anak kedua Edi, juga mulai menampakkan kecintaannya kepada Reog Bulkio. “Jika ada latihan, Vego selalu minta melihat di depan rumah,” timpal Edi.

Dengan nilai historisnya yang panjang, para pemain yang saat ini berasal dari tingkatan umur bervariasi, mulai 14 hingga 78 tahun memerlukan perhatian khusus dari dinas terkait. Bukan tidak mungkin, jika tidak ada perhatian dari dinas terkait, kesenian yang selama ini dihidupi dengan cara swadaya itu akan hilang dari catatan sejarah kesenian asli Blitar.

Sumber: Radar Blitar, 8 Desember 2010



Perlengkapan Reog Bulkio

Perlengkapan Reog Bulkio

Selasa, 04 Oktober 2011

Candi Kalicilik


Candi Kalicilik

Adalah sebuah candi Hindu yang terletak di Desa Candirejo, Kecamatan Ponggok, Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Bangunan candi ini terbuat dari bata merah dan memiliki denah bujur sangkar dengan ukuran 6,8 m x 6,8 m, serta tingginya 8,3 cm. Candi ini terdiri atas tiga bagian yaitu candi, tubuh candi dan atap candi. Pintu candi menghadap ke arah barat dan di atasnya terdapat hiasan berupa kala. Pada sisi utara, timur dan selatan terdapat relung-relung yang juga berhiaskan kala pada bagian atasnya. Bilik candi kosong dan pada dindingnya terdapat relief Dewa Surya yang dikelilingi oleh sinar matahari. Relief ini merupakan relief Surya Majapahit, yakni simbol dari masa Kerajaan Majapahit. Bagian puncak candi telah hilang, sedangkan bagian kaki candinya telah direnovasi pada tahun 1993. (http://id.wikipedia.org/wiki/Candi_Kalicilik)

Candi ini sendiri berada di antara pemukiman warga dan berada di pinggir jalan. Tidak terlalu sulit untuk menemukan keberadaan candi ini. Sebab tatkala melintas jalur alternatif Blitar - Kediri lewat Ponggok, tepatnya di Desa Bacem, ada penanda yang menunjukkan arah keberadaan candi ini. tanda itu berada di sebelah timur jalan, atau kalau dari Blitar berada di kanan jalan. Dari jalan utama lurus ke timur sekitar 5 km dan candi berada di sebelah utara jalan. Candi ini berada satu desa dengan Candi Sumbernanas.

Sama seperti candi-candi lainnya selain Candi Penataran, jumlah pengunjung di candi ini bisa dihitung dengan hitungan jari. Hanya orang-orang tertentu yang berkunjung ke candi ini. Selain itu juga tidak ada fasilitas pendukung sebagai objek pariwisata. Hanya pos penjagaan dan pagar pengaman agar keberadaan candi ini tidak rusak dan hilang karena ulah orang yang tidak bertanggung jawab. Sudah selayaknya objek wisata yang berada di pinggiran juga diperkenalkan kepada masyarakat luas melalui agenda pariwisata yang bisa diadakan Pemkab Blitar. Jangan hanya memperkenalkan salah satu candi saja, semua harus mendapatkan perlakuan yang sama agar potensi yang ada bisa tergali dan bisa dirasakan masyarakat sekitarnya. Ayo diperhatikan !!!!




Upacara Melasti


Upacara Melasti 1933 Saka

Sambut perayaan hari raya Nyepi setiap tahun umat Hindu selalu menggelar Upacara Melasti. Di Blitar Raya pelaksanaannya dipusatkan di kawasan Pantai Jolosutro, Desa Ringinrejo, Kecamatan Wates. Setiap tahun, sekitar delapan ribu umat Hindu dari Blitar Raya tumplek blek mengikuti upacara yang dilaksanakan untuk pembersihan buana agung (alam semesta) dan buana alit (manusia) dalam perayaan hari raya Nyepi 1933 Saka ini. Tahun ini Nyepi mengambil tema ‘Dengan melaksanakan Catur Brata Nyepi, kita wujudkan kehidupan yang harmonis, damai, dan sejahtera’.

Upacara yang dimulai pukul 07.00 itu dipimpin langsung oleh Singgih Pandita Suta Nirmala. Ribuan umat itu datang dari 12 kecamatan yang ada di Blitar Raya. Untuk mengikuti sembahyang itu, umat membawa Joli Jempana, yang merupakan simbol Betara (dewa-dewi) yang bersemayam dalam pura masing-masing. Itu merupakan tanda bahwa Betara juga diajak untuk hadir dalam upacara Melasti itu. Diawali dengan percikan Tirta Panglukat (pembersihan) saat memasuki area sembahyang, umat segera menempati hamparan pasir Jolosutro itu. Sedangkan Joli Jempana harus disentuhkan dengan air laut terlebih dahulu sebelum di letakkan di panggung depan tempat sembahyang. Dalam sembahyang itu, pandita memohon Tirta Amerta Suci kepada Sang Hyang Widhi sebagai simbol anugerah bagi umat Hindu.

Setelah melaksanakan sembahyang, selanjutnya acara larung sesaji yang bertujuan untuk menghormati Sang Hyang Baruna yang menguasai laut. Usai larungan, umat langsung kembali ke tempat sembahyang masing-masing untuk mengikuti persembahyangan Tri Sandhya dan Kramaning Sembah. Yang dilanjutkan dengan pemercikan Tirta Wasuhpada. Nah, percikan air itulah yang disimbolkan umat untuk mensucikan lahir dan bathin. Umat Hindu diharuskan mendapatkan percikan air itu sebelum meninggalkan area sembahyang, sebab itu merupakan isi dari Melasti, yakni pembersihan buana agung dan buana alit.

Sehingga saat melaksanakan Catur Brata Nyepi pada perayaan hari raya Nyepi sudah dalam keadaan suci.Harapannya, dengan dilaksanakannya upacara Melasti, umat manusia bisa menjalani hidup ini dengan tenang, tentram dan bahagia. Sekitar pukul 11.30, setelah sembahyang selesai umat segera membubarkan diri, meski hujan kembali mengguyur setelah berhenti beberapa waktu pada saat larungan. Untuk peringatan tahun baru 1933 Saka, Upacara Melasti dilaksanakan pada 26 Februari 2011 lalu.

persiapan larung sesaji

larung sesaji

pemercikan Tirta Wasuhpada



Sabtu, 01 Oktober 2011

Kisah Putmuinah, Ketua Gerwani Kabupaten Blitar

Putmuinah dengan foto penangkapannya di Blitar selatan


G30S Pecah, Ungsikan Tujuh Anak, Sembunyi di Gua

Setiap 30 September, ingatan Putmuinah masih terbayang peristiwa pahit 46 tahun silam, G30S/PKI. Ingatannya masih kuat meski sudah memasuki 83 tahun. Dia adalah ketua Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) Kabupaten Blitar, organisasi underbow Partai Komunis Indonesia (PKI). Bagaimana kisahnya? Berikut laporannya. 

Yanu Aribowo, Blitar.

Ditemui di rumahnya di Pakisrejo, Kecamatan Srengat, kemarin, Putmuinah masih terlihat sehat. Meski telah memasuki usia uzur, 83 tahun, tapi mantan ketua Gerwani ini masih enerjik. Perempuan ini dengan ramah menyambut setiap tamu yang berkunjung ke rumahnya. Rumah itu ditinggalinya seorang diri. Ketujuh anaknya telah memiliki kesibukan dan keluarga masing-masing.  

Suaminya sendiri, Subandi Hardi Sumarto yang merupakan ketua DPRD di Kota Blitar pada masa itu. Keberadaan suaminya hingga kini tidak diketahui. Putmuinah sendiri saat ini sudah mengikhlaskan kepergian suaminya.  Menurut dia, saat itu Subandi sedang mengikuti Kongres Partai Komunis Indonesia (PKI) di Jakarta. Menurut cerita yang disampaikan beberapa temannya, usai mengikuti kongres, Subandi lantas pulang dan tengah dalam perjalanan. “Tapi sampai saat ini belum juga kembali ke rumah,” ujar Putmuinah sambil matanya menerawang ke langit-langit rumah.

Bagi perempuan tujuh bersaudara itu, kondisi genting dan gawat bukan sesuatu barang baru. Dia sendiri terlahir dari ayah, H Mansyur, tokoh Sarikat Rakyat (SR) di Blitar. Ayahnya dipenjara dengan hukuman 6,5 tahun. Praktis, Putmuinah kecil baru mengetahui kondisi bapaknya sekitar kelas I SD. Namun meski begitu tidak ada raut kesedihan yang ditunjukkan perempuan tujuh bersaudara itu.

Kemarin saat Radar Blitar berkunjung ke rumahnya, dengan lancar dia menceritakan bagaimana dia menyelematkan diri saat meletusnya G30S/PKI, hingga akhirnya tertangkap petugas keamanan setelah tiga tahun dalam pelariannya di wilayah Blitar selatan. Saat itu, suaminya masih mengikuti kongres di Jakarta, dia mengungsikan tujuh anaknya yang masih kecil-kecil. Dengan mengendong di bungsu Komara (Komunis Marhanaenis dan Agama) yang saat ini belum genap berusia setahun. Demikian dengan membawa sambil member penjelasan kepada si sulung Dinna Amin Handayani yang berusia 13 tahun kalau kondisi sedang gawat, pecahnya G30S. Dalam ingatannya, rumahnya saat itu berada di kawasan RSK Budi Rahayu. “Timurnya rumah sakit utara jalan, belakang bengkel kalau tidak salah waktu itu,” jelasnya.

Dengan modal nekat, Putmuinah memboyong semua anaknya menuju rumah orang tuanya di Desa Pakisrejo, Kecamatan Srengat. Perjalanan sejauh  10 kilometer dengan berjalan kaki dilaluinya tidak dengan mudah. Putmuinah harus menghindari pemeriksaan petugas keamanan dan massa dari ormas Islam yang saat itu sudah melakukan patroli untuk mencari orang-orang PKI. Tak pelak, seharian akhirnya dia sampai di rumah meski kondisi keamanan tidak menjamin keselamatan dia dan anaknya. Sebab informasi yang didapatkan saat itu, selain patroli petugas dari angkatan darat (AD), ada gerakan massa dari ormas Islam yang menyerang perumahan yang dituding sebagai pengikut PKI. “Demi keamanan orang tua saya, saat itu saya juga pergi ke Jakarta dan Surabaya, hingga akhirnya saya memilih bertahan di pegunungan Blitar Selatan bersama teman yang lainnya,” ungkap istri Subandi ini.

Dalam pelariannya di pegunungan Blitar selatan, saat itu Putmuinah bersama pelarian lainnya hidup dalam keterbatasan. Saat itu selama hampir tiga tahun dia menetap di dalam Gua Gayas, yang berada di perbatasan Blitar – Tulungagung. Setiap hari persediaan alam, seperti air tetesan dan daun-daunan di kawasan hutan menjadi penyambung hidup dia bersama pelarian lainnya. Mereka merasa aman dengan berlindung di kawasan itu karena warga setempat tidak terlalu dipikirkan warga. Setiap ada yang mencari mereka menjawab tidak tahu. Saat itu ada tokoh PKI asal Tulungagung, Murjani, yang mengajaknya keluar gua, namun karena teguh pendirianya, Putmuinah menolak. “Akhirnya saya tertangkap setelah salah satu pengikut PKI menunjukkan keberadaan saya di dalam gua. Ini orangnya,” sambil menunjukkan dalam foto penangkapannya yang didapat dari seorang temannya.

Nah, dari penangkapan itu akhirnya di penjarakan di Platungan, Kabupaten Kendal. Kondisi itu setelah Putmuinah menjalani pemeriksaan dan penjara mulai, pos militer di Sutojayan, Blitar, Kediri, Madiun, dan akhirnya dijebloskan ke penjara Platungan. Penjara itu rumah sakit penderita kusta yang sengaja dikosong untuk menampung tahanan politik PKI. Dia hidup dalam penjara itu selama 10 tahun, baru pada 1978 menghirup udara bebas dan langsung kembali ke kampung halamannya. “Sejak saat itu saya tinggal di sini,” ujar lulusan Sekolah Taman Dewasa di Tulungagung.

Saat ini untuk mengisi hari-harinya, Putmuinah lebih banyak membaca buku dan melihat perkembangan informasi di TV. Kabar baik datang pada 2003 silam, sebagai eks tahanan politik, dia tidak lagi absen di Koramil Srengat. Selain itu, sejumlah pihak sering kali mengundangnya sebagai pelaku sekaligus korban sejarah 1965. Pada tahun 2009, pernah memberikan kesaksian terkait seperti apakah sesungguhnya peristiwa 1965 yang terjadi di Indonesia. Tahun ini, dia juga pernah diajak ke Blitar selatan untuk menelusuri tempat persembunyiannya dulu. “Saya 10 hari di Korea Selatan, selain itu juga ada mahasiswa yang datang ke sini untuk tugas kuliah,” ungkapnya bangga.

Mantan anggota dewan itu menjelaskan, tidak hanya suaminya yang menjadi korban pada masa suram itu. Ayahnya, H Mansyur, seorang tokoh Sarikat Islam (SI) Merah Kabupaten Blitar yang merupakan pecahan dari Sarikat Islam (SI) pimpinan HOS Cokroaminoto. Sarikat Islam Merah sebagai cikal bakal Sarikat Rakyat (SR). H Mansyur sendiri yang terbunuh dalam peristiwa pemberontakan PKI Madiun 1948.
Putmuinah semakin mantab dengan pandangan dan pilihan politiknya sebagai anggota PKI. Awalnya dia bergabung dengan Barisan Pemberontak Republik Indonesia (BPRI), Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), dan Gerwani.

Dia mengenang, saat itu PKI merupakan partai besar yang menguasai separo lebih kursi dewan, baik di Kota/ Kabupaten Blitar. Seingatnya, saat itu di Kota Blitar, dri 15 kursi dewan, 10 kursi diduduki politikus dari PKI, termasuk suaminya yang merupakan Ketua DPRGR, serta Ketua PKI Kota Blitar dan Ketua Front Nasional Kota/ Kabupaten Blitar. Sedang di Kabupaten Blitar, dari 45 kursi, sebanyak 35 kursi diduduki anggota PKI. Sisanya diduduki politikus dari NU, Masyumi, PNI dan partai kecil lainnya.

Nah, dengan masa keemasan PKI kala itu, dalam diri Putmuinah tidak ada istilah pemberontakan yang dilakukan PKI. Memang pada saat itu PKI sedang mengadakan kongres di Jakarta. Namun apa yang dilakukan tokoh PKI itu bukan dalam rangka persiapan pemberontakan, tapi perumusan program kerja PKI untuk pembangunan bangsa. Dia menduga, isu pemberontakan yang dilontarkan beberapa pihak itu mencuat karena kedekatan PKI dengan Presiden Ir Soekarno. Sebab kalau Soekarno masih menjadi presiden, Amerika tidak bisa mengeksploitasi kekayaan yang dimiliki bangsa Indonesia. “Maka dari itu, untuk menghancurkan Soekarno, yang dihancurkan terlebih dahulu adalah para pendukungnya, seperti PKI. Saat itu tidak ada pemberontakan. Hanya golongan kanan saja yang menuduh memberontak. Kongres memang ada tapi untuk perumusan program kerja PKI ke depan,” papar Putmuinah dengan semangat.

Bagaimana dia memaknai pengalaman kelam itu? Dia tidak dendam dan menganggap itu sebagai pengalaman hidup dan akan diingatnya sampai kapan pun. Karena peristiwa itu terjadi, banyak di antara mereka yang terlibat karena tidak tahu dan hanya korban politik saat itu. “Semua pasti ada hikmahnya,” tukasnya. (cam) 


Sumber : Radar Blitar


Putmuinah dengan foto penangkapannya di Blitar selatan

Foto penangkapan Putmuinah (perempuan jongkok tengah) di Blitar selatan tahun 1968